Mohon tunggu...
Mikhael Yosia
Mikhael Yosia Mohon Tunggu... Dokter - Medical/Operational Research Coordinator Doctors Without Borders (Médecins Sans Frontières), Master in Occupational Health

dr. Mikhael menyelesaikan studi dokter umumnya di Universitas Indonesia dan University of Melbourne di Australia. Selama beberapa tahun melakukan riset di bidang hematologi (darah) pada anak, menghasilkan beberapa publikasi internasional. Saat ini dr. Mikhael menjadi koordinator penelitian untuk negara-negara di Asia dalam bidang infeksi pada anak, vaksinasi, pelayanan medis pada bencana alam, dan wabah penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Tipe Orang yang Kayak: "Corona? B Aja Gitu"

15 Mei 2020   19:08 Diperbarui: 15 Mei 2020   19:22 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul artikel ini mengutip langsung salah seorang selebgram yang sedang heboh dibicarakan di media masa lantaran ia mengeluarkan statement kontroversial dalam sebuah video Youtube. 

Bagaimana banyak yang tidak geram? Dengan lantangnya ia menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah memakai masker dan cuci tangan, karena menurutnya COVID-19 terlalu dibesar-besarkan. 

Walaupun banyak hujatan yang ingin ditulis, namun artikel ini ditulis bukan untuk menendang ginjal "influencer" yang membuat saya sadar bahwa jumlah followers tidak berbanding lurus dengan tinggi IQ. Sayangnya saya tahu betul bahwa "influencer" ini pasti lebih didengar orang ketimbang dokter dan ilmuwan-ilmuwan Indonesia.

Artikel ini ditulis karena adanya observasi bahwa (senang atau tidak), apa yang dikatakan influencer itu merupakan representasi perasaan banyak kalangan masyarakat saat ini. 

Mungkin orang tidak seekstrim dia dan Jarinx/Jarink/Jaring(?) yang otaknya njelimet menghubungkan COVID-19 dengan teori konspirasi ajakadul ala-ala illuminati dan Bill Gates. 

Kadang orang mengeluarkan statement kontroversial hanya untuk meningkatkan popularitas semata, namun kita bisa lihat bahwa banyak masyarakat Indonesia (dan seluruh dunia) tampaknya mulai merasa bahwa COVID-19 bukanlah ancaman hebat seperti yang sudah dibicarakan di media masa.

Orang hanya menggunakan masker kalau ditegur, itupun masker banyak yang berubah alih menjadi pelindung dagu (ditaruhnya dibawah hidung atau dibawah muluh, ya buat apa lagi selain nutupin dagu biar tidak jerawatan?). 

Banyak yang tidak peduli dengan aturan PSBB yang makin hari makin tidak jelas. Petugas di checkpoint-checkpoint PSBB pun sering terlihat acuh tak acuh melihat mobil yang lalu lalang.

Belum lagi adanya "afirmasi" dari pemerintah bahwa situasi "terkendali" dan jumlah pasien COVID-19 kian hari kian menurun. Coba liat perempatan depan banyak komplek perumahan pada jam ngabuburit, penuh riuh orang belanja takjil - seakan tidak ada yang namanya COVID-19 ini. 

Ada beberapa hal yang sepertinya menyebabkan rasa acuh-tak-acuh akhir-akhir ini, beberapa di antaranya meliputi:

Kurangnya pengetahuan akan COVID-19

Banyak orang sebatas tahu bahwa COVID-19 adalah penyakit yang mematikan. Di kala penyakit ini masih terkendali dan mayat tidak tampak bergelimpangan di jalan padangan orang akan bahaya COVID-19 ini runtuh. 

Padahal di balik semua ini; ada usaha keras para tenaga medis yang terus mengadu nyawa, ada roda ekonomi yang sempat dihentikan, ada banyak pengorbanan dari berbagai lapis masyarakat hanya untuk mencoba memperlambat laju korban COVID-19.  

Ada baiknya kita mencoba membaca lebih (bukan cuma dari broadcast whatsapp), bacalah dari website-website yang terpercaya, dari sumber-sumber sahih akan apa penyakit ini. 

Dengan itu kita bisa mengerti esensi dari penggunaan masker itu apa, guna PSBB/social distancing itu apa, dan berapa banyak orang sudah berkabung karena penyakit ini. Jika kita sudah mengerti esensi dari semua aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan ahli kesehatan, barulah ada kesadaraan dan dorongan untuk terus taat. 

COVID-19 terkesan sudah terkendali

Hal lain yang menyebabkan orang acuh adalah karena COVID-19 ini terlihat seakan sudah terkendali. Pencegahan penyakit adalah sesuatu yang sulit, jika pencegahan berhasil maka penyakit tidak akan muncul - jika penyakit tidak muncul masyarakt akan merasa penyakit itu tidak perlu dicegah. 

Sama halnya seperti vaksin, banyak anti-vaxx yang menganggap vaksin itu tidak perlu, toh anak mereka yang tidak divaksin tetap sehat-sehat saja. Tetapi kita tahu ini adalah pandangan yang salah, pencegahan penyakit baru efektif jika dilakukan oleh banyak orang (semuanya: orang sakit, orang tertular, pembawa penyakit tanpa gejala, orang sehat). Satu atau sepuluh persen orang taat PSBB sedangkan 90 persen lainnya tidak akan menyebabkan pencegahan menjadi tidak efektif.

COVID-19 terkendali hanya karena selama ini kita sudah bekerja keras untuk mengendalikannya, jika usaha usaha tadi dilongarkan terlalu cepat, kita akan melihat COVID-19 kembali beraksi di Indonesia.

Tetapi terlepas dari semua itu; saya, yang sudah ikut meneliti dan berkutat dengan penyakit ini sejak Januari di sekitar Asia Tenggara, mulai ragu. Apakah COVID-19 memang seberbahaya itu? Apakah COVID-19 semematikan itu? 

Saya mungkin termakan pandangan bagaimana masyarakat Indonesia dengan PeDe-nya masih berjalan beramai-ramai di pinggir jalan dan pusat-pusat belanja. 

Mungkin saya termakan bagaimana perumahan kumuh di tengah kota Jakarta yang padat bukan main tidak dilaporkan menjadi super-cluster pusat penyebaran COVID-19. Mungkin saya bingung melihat bagaimana bapak-bapak ojek online masih mondar-mandir dengan sehat bugar setiap hari.

Apakah ada sesuatu yang saya tidak lihat? Apakah tumpukan-tumpukan pasien COVID-19 ini sebenarnya tidak ada? Apakah selama ini PSBB sia-sia? Apakah COVID-19 terlalu dibesar-besarkan? Ini belum bisa saya jawab.

Bagaimana dengan anda? Dustakah semua ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun