Teringat kembali pada pilkada DKI 2017 lalu, dimana begitu banyak trik, intrik yang mengundang kehebohan di negeri ini.
Walau hampir 2 tahun telah berlalu, namun masih membekas dengan sangat lekat dalam ingatan masyarakat, terutama masyarakat DKI, karena para elite politik begitu vulgarnya menggunakan berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan.
Bahkan sampai ayat dan mayatpun tidak luput digunakan. Hal ini yang kemudian membuat goresan luka bagi beberapa pihak yang merasa menjadi korban.
Suka atau tidak suka, akhirnya pasangan Anies-Uno berhasil memenangkan pilkada DKI dengan selisih perolehan suara sangat telak yaitu 57,96% berbanding 42,04%.
Daaaan...
Yang membuat goresan paling dalam bagi yang kalah adalah nasib dari calon petahana, Ahok atau yang sekarang dipanggil BTP nasibnya harus berakhir di penjara.
Walaupun...
Pada awal pidato pertama setelah pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, 16 Oktober 2017, sebagai Gubernur DKI yang baru, Anies Baswedan terkesan menunjukan ingin menggandeng kubu yang pernah berseberangan, dengan mengatakan :
"Hari ini, saya dan bang Sandi dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur bukan bagi para pemilih kami saja, tapi bagi seluruh warga Jakarta. Kini saatnya bergandengan sebagai sesama saudara dalam satu rumah untuk memajukan kota Jakarta."
Namun, dalam pidato tersebut, Anies juga melontarkan kata "Pribumi" yang akhirnya menjadi kontroversi dijagat maya.
Bagi sebagian orang tidak mengherankan, dengan isu pribumi yang dilontarkan Anies, mengingat cara kampanyenya yang memainkan politik identitas. Tetapi, bagi sebagian orang lagi pidato Anies tersebut dinilai rasis.
Tentu sangat basi jika kita masih berdebat membahas kembali isi pidato perdana Anies. Oleh sebab itu, disini saya hanya akan membahas politik identitas yang dimainkan kubu pemenang pilkada DKI, karena cara berpolitik itu pula yang kemudian dimainkan kubu Prabowo-Sandi. Â Â Â Â Â Â