Memasuki putaran kedua Pilkada DKI walaupun sudah mulai menarik tapi masih belum bisa dibilang panas.
Berbeda suasananya pada putaran pertama yang sudah langsung panas, begitu nama kandidat disorongkan oleh masing masing parpol pendukung.Â
Pasangan AHY-Sylvi langsung mendapat sambutan paling panas sejak awal muncul. Pada bulan pertama, AHY yang awalnya dianggap sebagai anak bawang justru eletabilitasnya melonjak tinggi melewati dua kandidat saingannya.
Seperti yang sudah saya duga sejak awal, AHY belum punya kemampuan untuk menjadi pemimpin kota sebesar DKI Jakarta, yang terdiri dari berbagai kalangan. AHY yang awalnya banyak mendapat dukungan, begitu memasuki acara debat, elektabilitasnya berangsur angsur melorot.
Dan yang paling parah adalah tusukan mematikan dari kubu Anies-Uno sesaat jelang akhir kampanye.
Dengan mendatangi kelompok kelompok pendukung AHY, secara nyata sudah menggembosi kantung suara AHY. Manuver Anies-Uno ini tidak diperhitungkan oleh timses AHY-Sylvi. Terbukti perolehan suara Anies-Uno langsung melejit, mendekati perolehan suara Ahok-Djarot.
Sungguh disayangkan, AHY terpaksa harus menjadi yang paling awal terlempar dari kompetisi. Dengan gentlemen AHY langsung mengakui kekalahannya...
Sebenarnya, dengan menunjuk AHY sebagai penantang Ahok-Djarot -yang saat itu bisa dibilang sangat kuat-, SBY dan para kader parpol pendukung AHY pasti tau dan sudah memperhitungkan dengan sangat matang segala resikonya.
Saya sangat yakin bahwa para elite parpol pendukung AHY sudah tau bahwa pasangan AHY-Sylvi tidak bakalan bisa menang. Dan saya juga yakin, mereka hanya mengorbankan AHY saja.Â
Mereka tau bahwa saat itu dukungan pada pasangan Ahok-Djarot masih labil. Terutama dengan berbagai kasus yang sengaja dilempar untuk menggerus dukungan pada Ahok.
Jadi, mereka terus berupaya untuk memperoleh perpanjangan waktu sambil terus melempar isu yang memojokan Ahok.