Jangan dipotong menjadi “Siapa saja kalau dihina dan hukum tidak bicara, nanti yang bicara senjata.”, karena akan sangat berbeda artinya dan sudah keluar dari konteks aslinya...
Jadi, menurut saya sekali lagi ada baiknya, Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, membaca sebuah berita bukan hanya judulnya saja lalu membuat kesimpulan.
(ini juga karena kekonyolan media online yang ingin mengejar jumlah klik, jadinya sering membuat judul berita yang berbeda dengan isinya)
*Seterusnya, pernyatan Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarahwan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, yang dulunya adalah pendukung berat Jokowi, tapi sejak Raperda Budaya Betawi dicuekin Jokowi, lalu berbalik 180% menjadi pengkritik (saya bilang pengkritik bukan penghina) dan tidak tahu bahwa orang Tionghoa tidak ada yang memakai She/marga “Wie” tapi “Oey”.
Jadi perlu diluruskan sekali lagi, bahwa tidak ada satupun orang Tionghoa yang bernama Wie Jo Koh atau Wie Jok Nyan, kalaupun ada Oey Jo Ko atau Oey Jok Nyan.
Masih ingat, saking hebatnya mendukung Capres Sebelah, Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi , bahkan rela mengatakan bahwa kita harus menerima Korban Mei 1998 sebagai suatu resiko.
Kali ini, Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarawan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, mengatakan bahwa pada jaman Soeharto tidak ada satu orangpun yang ditangkap atau ditahan terkait dengan penghinaan Presiden.
Benar dan saya sangat setuju dengan Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarawan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, bahwa pada saat jaman Orba, tidak ada satu orangpun yang dipenjara karena menghina Soeharto, dan saya juga setuju bahwa pada saat itu, banyak orang yang ditangkap tanpa diadili sama sekali, jadi tidak jelas tuduhannya apa.
Tapi apakah Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarawan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, tidak tau atau pura pura tidak tau bahwa orang yang ditangkap tanpa pengadilan itu, kenapa dan apa yang sudah dilakukan sebelumnya?
Masa Orba adalah sebuah masa lalu yang sangat kelam bagi negeri ini, dan sangat membekas pada diri saya pribadi. Karena, pada waktu itu saya tidak bisa mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran saya.
Setiap kali saya berbicara mengenai politik, orang tua saya langsung ketakutan ga keruan, sambil mengatakan “Awas! Tembok ada Kupingnya”, padahal sejak kecil saya sudah baca koran politik. Jadi sudah jelas, pada masa itu semua rakyat sangat takut berbicara mengenai politik atau mengkritik kebijakan pemerintah. Jika ada yang nekad mengkritik kebijakan pemerintah, resikonya penjara menunggu.