Mohon tunggu...
M. Ikbar Nariswara
M. Ikbar Nariswara Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Mantan Jurnalis Kampus yang sampai sekarang masih menulis tulisan-tulisan ringan dengan berbagai topik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Marsinah dan Setahun UU Cipta Kerja Berlaku

31 Mei 2024   15:40 Diperbarui: 31 Mei 2024   16:08 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perjalanan RUU Cipta Kerja memang begitu sangat panjang dan penuh kontroversi, dimulai dari tahun 2019, gagasan tentang Cipta Kerja pertama kali diungkap Presiden Joko Widodo dalam pelantikannya. Meskipun banyak penolakan oleh masyarakat dan sempat dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh MK. Namun meskipun begitu, pemerintah tidak kehabisan akal. Hingga tiba-tiba menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Walaupun sempat mengalami penolakan lagi, namun pembuat UU tetap menggelar rapat pengesahan Perppu Cipta Kerja lewat Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023. Pada saat itu Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. 

Tepatnya pada tanggal 31 Maret 2023, UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang telah sah berlaku. Tentunya setelah setahun lebih berlaku UU Nomor 6 Tahun 2023 masih perlu di telisik lebih jauh lagi, apakah dengan adanya UU Nomor 6 Tahun 2023 membuat buruh lebih sejahtera atau justru semakin merugikan kalangan buruh. Sebab banyaknya Pasal yang ada dalam UU Cipta Kerja hingga ribuan membuat masyarakat enggan untuk membaca sampai selesai UU tersebut. 

Dengan dikebutnya pengerjaan UU tersebut, tentunya menjadikan pertanyaan di kalangan buruh. Apakah pengerjaan UU tersebut yang begitu cepat sejalan dengan kebutuhan yang di perlukan buruh. Dan memang faktanya UU tersebut semakin menyengsarakan buruh, jika kita lihat dalam peraturan yang lama, UU Ketenagakerjaan Pasal 88 Ayat (3) terdiri dari 11 poin tentang pengupahan terhadap buruh. Namun di UU Cipta Kerja Pasal 88 Ayat (3) cuman menjadi 7 poin tentang pengupahan terhadap buruh. Poin-poin yang dihapus ialah: upah tidak masuk kerja karena berhalangan; upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; denda dan potongan upah; dan upah untuk pembayaran pesangon.

Jelas pemotongan pengupahan tersebut semakin menyengsarakan buruh, dan memperkecil hak-hak buruh. Padahal kita tahu jumlah buruh yang ada di Indonesia sampai jutaan, belum lagi yang terkena PHK, "Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), lebih dari 17.000 buruh di-PHK sejak UU Ciptaker disahkan, mayoritas secara sepihak." (BBC News Indonesia, 2022). Juga pada periode Januari-Maret 2024 "terdapat 12.395 orang tenaga kerja yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sekitar 42,15 persen dari jumlah keseluruhan kasus yang dilaporkan." (Kemnaker, 2024). Namun beda lagi dengan data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa "Jumlah pengangguran turun sebesar 0,54 % poin dibandingkan Agustus 2022, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2023 sebesar 5,32 %. Mengapa demikian, sebab dalam website BPS, ternyata tidak ada data terkait jumlah buruh yang di PHK, yang ada cuman presentase jumlah pengangguran. 

Namun apa yang dikatakan dalam Undang-undang tentunya berbeda dengan realita yang terjadi, jika kita melihat dalam Pasal 151 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2023, disitu menjelaskan jika "Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja." Namun di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal baru, yakni Pasal 154A, Perusahaan berhak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan beberapa alasan 15 poin yang mengatur, lagi-lagi Pasal tersebut menjadi momok bagi pekerja buruh, hal tersebut sejalan dengan yang terjadi pada bulan Maret 2024, "Kuartal pertama 2024 ada lanjutan proses PHK di PT Sai Aparel Kota Semarang sekitar 8 ribuan pekerja, PT Sinar Panca Jaya Semarang sekitar 400 an pekerja, PT Pulaumas Kabupaten bandung proses PHK untuk 100-an pekerja sedang negosiasi pesangon." (Ferry Sandi, 2024). Sementara itu Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut, "praktek PHK sebelum Lebaran lazim terjadi karena pengusaha ingin menghindari kewajiban membayar THR." (Ferry Sandi, 2024).

Dari kasus tersebut jelas bahwasanya UU Cipta Kerja dibuat hanya untuk menguntungkan pihak perusahaan saja. Pemerintah kerap kali tidak mau mendengarkan aspirasi dari kalangan buruh dan memilih untuk tutup mata. Padahal jika kita lihat, aksi-aksi buruh tidak lepas dari permasalahan PHK sepihak dan upah murah. Hal tersebut mengingatkan kita tentang Marsinah yang menuntut kenaikan upah, ia seorang perempuan muda berusia 23 tahun yang bekerja sebagai buruh rendahan di perusahaan pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah ditemukan tewas 5 Mei 1993 dengan tubuh yang penuh luka, hasil otopsi menyatakan bahwa dia mengalami penyiksaan dan perkosaan. Marsinah mati akibat aksi perjuangannya menuntut kenaikan upah dan jaminan sosial buruh dengan melakukan aksi mogok kerja pada tanggal 3 Mei 1993. 

Artinya sudah 30 tahun lebih buruh masih menuntut hak-hak nya, namun lagi-lagi hal tersebut belum mendapatkan angin segar dari pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Ketenagakerjaan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Padahal harapannya UU Cipta Kerja seharusnya semakin mensejahterakan masyarakat, kita tahu bahwa "jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang." (BPS, 2023). Lebih jauh, berdasarkan data BPS tahun 2020, "persentase angka tidak sekolah (ATS) pada kelompok usia 16-18 tahun di perdesaan mencapai 27,81% sepanjang tahun lalu. Persentase itu lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yang mencapai 18,11%. Pada kelompok usia 13-15 tahun, persentase ATS di perdesaan mencapai 9,05%. Sementara, persentase ATS pada usia 13-15 tahun di perkotaan sebesar 5,84%." (Kusnandar, 2021).

Persoalan tersebut tentunya berkaitan satu sama lain, bagaimana bisa kemiskinan dapat diangkat jika upah yang diterima buruh tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Sebab Buruh masih menjadi pekerjaan dengan jumlah tertinggi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, "sebanyak 37,02% penduduk Indonesia berstatus sebagai buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021." (Cindy Mutia Annur, 2021). Hukum yang seharusnya dapat melindungi masyarakat kecil dan melindungi hak-hak nya namun dalam realitanya hukum hanya menjadi alat penguasa untuk memperkaya diri mereka sendiri. Persoalan hukum akan terus menjadi PR bagi kita semua, jika tidak dapat dijalankan sesuai cita-cita bangsa ini, reformasi yang harapkan dapat membawa bangsa ini lebih baik, namun yang ada justru semakin ke arah sebaliknya. Terbukti sampai sekarang darah perjuangan marsinah masih mengalir sampai sekarang, setiap bulan Mei kita memperingati hari buruh dan hari dimana marsinah meninggal. Hal tersebut masih menjadi ingatan bagi kita semua bahwa perjuangan kelas bawah belum selesai. 

Referensi:

Annur, Mutia Cindy. (2021). Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/08/11/mayoritas-penduduk-indonesia-bekerja-sebagai-buruh-pada-februari-2021, pada 9 Mei 2024, pukul 12.15 WIB.

BBC News Indonesia (2022). Diakses di https://www.bbc.com/indonesia/articles/cn0xrzlr2d9o, pada 8 Mei 2024, pukul 17.30 WIB.

BPS (2023). Diakses di https://indonesiabaik.id/infografis/semangat-berantas-kemiskinan, pada 9 Mei 2024, pukul 12.09 WIB.

BPS (2023). Diakses di https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2023/11/06/2002/tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-5-32-persen-dan-rata-rata-upah-buruh-sebesar-3-18-juta-rupiah-per-bulan.html, pada 9 Mei 2024, pukul 11.30 WIB.

Kemnaker (2024). Diakses di https://satudata.kemnaker.go.id/data/kumpulan-data/33, pada 8 Mei 2024, pukul 17.34 WIB.

Kusnandar, Budy Viva, 2021. "Kesempatan Anak Bersekolah di Perdesaan Lebih Rendah Dibandingkan Perkotaan". Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/23/kesempatan-anak-bersekolah-di-perdesaan-lebih-rendah-dibandingkan-perkotaan, pada 7 Mei 2024, pukul 10.17 WIB.

Sandi, Ferry. (2024). Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20240326153024-4-525616/phk-jelang-lebaran-nyata-ini-datanya, pada 9 Mei 2024, pukul 11.40 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun