Melihat kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang cukup drastis di beberapa Universitas di Indonesia dan dibarengi dengan berbagai aksi yang dilakukan oleh mahasiswa menjadi sebuah fenomena yang sangat disayangkan. Pasalnya kenaikan UKT yang cukup signifikan tiap tahun itu membuat para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi harus berfikir berkali-kali. Contohnya kenaikan UKT yang signifikan tersebut terjadi di Universitas Jendral Soedirman (Undsoed), Purwokerto. “Program studi di Fakultas Hukum nominal paling besar Rp3 Juta.
Dengan peraturan baru ini naik menjadi Rp14, 5 Juta," (Hendrik Yaputra, 2024). Besaran UKT yang di patok dalam peraturan baru rektor Unsoed nomor 6 Tahun 2024 bukan angka yang kecil. Hal tersebut tak cuman terjadi di Unsoed, namun juga di beberapa kampus besar lainnya. Seperti Universitas Gajah Mada (UGM), “terjadi peningkatan besaran UKT untuk sebagian besar program studi di tahun 2024.
Misalnya, UKT pendidikan unggul bersubsidi 75 % untuk program studi Bisnis Perjalanan Wisata, Bahasa Inggris, serta Bahasa Jepang untuk Komunikasi Bisnis dan Profesional sebesar Rp3.000.000 per semester, sedangkan di tahun sebelumnya sebesar Rp2.850.000.” (Andika Dwi, 2024). Walaupun beberapa kampus sudah mencabut peraturan baru rektor tersebut dan menggantinya, seperti yang terjadi di Unsoed, “Wakil Rektor Bidang Akademik Unsoed Noor Farid menyatakan, peraturan baru itu ditetapkan berdasarkan masukan dari berbagai pihak.” (Wilibrordus Megandika Wicaksono, 2024). Namun kenaikan UKT yang tiba-tiba terjadi dan membuat heboh masyarakat dan mahasiswa tersebut semakin membuat para orang tua dilematis.
Jika kita melihat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Lingkungan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Ternyata Pasal 2 Ayat (3) menjadi dasar dalam menetapkan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang pasalnya berbunyi “Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar untuk menetapkan BKT.” Artinya sumber pendapatan sebuah kampus ialah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk PTN juga dari PTN yang menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa. Lalu dalam Pasal 6 Ayat (2) Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 menjelaskan bahwa “Pimpinan PTN selain PTN Badan Hukum menetapkan besaran UKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri melalui: a. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bagi universitas dan institut; atau b. Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi bagi politeknik dan akademi komunitas.” Jelas dalam Pasal tersebut, besaran UKT yang dipatok tiap-tiap PTN atas persetujuan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.
Namun coba kita telisik lebih dalam dasar Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan memberi persetujuan UKT yang sangat mahal dan tidak masuk akal tersebut. Jika kita melihat peraturan diatasnya, yaitu dalam UU No 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi, dalam Pasal 3 menjelaskan bahwa “Pendidikan Tinggi berasaskan: A. Kebenaran Ilmiah; B. Penalaran; C. Kejujuran; D. Keadilan; E. Manfaat; F. Kebajikan; G. Tanggung Jawab; H. Kebhinnekaan; Dan I. Keterjangkauan.”
Asas-asas tersebut jelas, bahwasanya itu merupakan dasar dalam memgambil sebuah kebijakan. Pasalnya dari besaran UKT yang dipatok, Kemendikbud telah melanggar asas Keterjangkauan, Keadilan, Kebajikan, dan Manfaat. Keterjangkauan dalam hal ini ialah biaya yang dicapai terlalu tinggi, sehingga para orang tua sulit untuk menjangkaunya. Maksud keterjangkauan dalam KBBI dari dasar kata “Terjangkau” yang berarti “Tercapai/Terambil.” Dengan biaya yang tinggai maka hal tersebut tidak dapat dijangkau. Dengan tidak semua dapat menjangkau maka secara langsung melanggar asas keadilan, keadilan masyarakat dalam menempuh perguruan tinggi. Juga kebajikan, tidak dapat berbuat baik kepada masyarakat, dan yang terakhir ialah manfaat, pendidikan tinggi yang diselenggarakan agar dapat bermanfaat bagi masyarakat dengan biaya tinggi tidak dapat bermanfaat, sebab tidak semua orang dapat mengaksesnya.
Fakta yang lain juga yaitu “Jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang.” (BPS, 2023). Seharusnya Kemendikbud melihat data tersebut, yang mana memang jumlah kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi, jika untuk dapat bertahan hidup saja masyarakat susah, lantas bagaimana mereka akan membayangkan jika suatu saat mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke Perguruan Tinggi. Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tidak tepat sasaran menambah masalah disektor pendidikan yang tak kunjung selesai-selesai. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkapkan “Penerima KIP Kuliah tidak tepat sasaran lantaran proses yang tak transparan. Mulai dari pendaftaran, verifikasi hingga pengumuman.” (CNN Indonesia, 2024).
Pola masalah tersebut sebenarnya sering terjading berulang-ulang, namun sampai saat inipun tidak ada ketegasan dari Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud untuk menjawab persoalan tersebut.
Padahal sistem ketatanegaraan Indonesia berkonsep Rule of Law yang berdasarkam pada pemikiran liberalisme yang sangat menjunjung tinggi kebebasan Individu, hal tersebut sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan, pengakuan, serta kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Kebebasan yang digaung-gaungkan oleh pemerintah ternyata sebatas kebebasan yang bersifat semu, seperti masalah yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya membuat orang-orang dengan kelas bawah pada akhirnya minder dan cuma bisa membayangkan saja tanpa pernah bisa merasakan.
Mungkin kita terlalu jauh jika membicarakan akses terhadapa perguruan tinggi, dari sekolah dasar pun, banyak anak-anak desa yang tidak dapat merasakan pendidikan. “Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, persentase angka tidak sekolah (ATS) pada kelompok usia 16-18 tahun di perdesaan mencapai 27,81% sepanjang tahun lalu. Persentase itu lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yang mencapai 18,11%. Pada kelompok usia 13-15 tahun, persentase ATS di perdesaan mencapai 9,05%. Sementara, persentase ATS pada usia 13-15 tahun di perkotaan sebesar 5,84%.” (Kusnandar, 2021). Jika permasalahan seperti di atas tidak dapat terselesaikan, mungkinkah dapat Mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045 Mendatang? Darimana kemudian hal tersebut dapat dicapai, apakah permasalahan tersebut dapat terselesaikan dalam satu malam? Seperti cerita Legenda Roro Jonggrang yang dapat membangun 1000 candi dalam satu malam.