Jika kita membicarakan tentang ideologi liberalisme, maka yang terbesit adalah kebebasan individu yang merupakan nilai tertinggi. Liberalisme dan kata-kata sejenis lainnya seperti liberal, liberty, libertarian, dan libertine semuanya mempunyai akar sejarah ke bahasa Latin yang sama yaitu liber, yang berarti "bebas". Memang, liberalisme adalah sebuah paham, ideologi, atau pandangan yang menghendaki adanya kebebasan.Â
Sejarah munculnya bermula pada awal abad ke-17, fenomena liberalisme adalah reaksi terhadap penindasan oleh bangsawan dan agamawan selama feodalisme. Berkembang pesat pada abad ke-18 dan 19, khususnya di Prancis dan Inggris, liberalisme muncul sebagai perlawanan terhadap kekuasaan absolut raja, bangsawan, dan gereja. Revolusi Perancis pada abad ke-18 memperkuat paham liberalisme, memicu tuntutan kemerdekaan dan kebebasan dari kesenjangan sosial yang mencolok. Dukungan meluas di Eropa, termasuk dengan keluarnya Piagam Magna Charta oleh Raja John di Inggris pada abad ke-19. Pengaruhnya juga terasa di Amerika Utara, di mana pemisahan 13 koloni Inggris membantu pembentukan Amerika Serikat. Karya Adam Smith, "The Wealth of Nations," membuka era larangan campur tangan pemerintah dalam ekonomi.
Secara keseluruhan, liberalisme lahir dari kelelahan masyarakat terhadap kekuasaan absolut, membawa perubahan menuju kebebasan individu dalam berbagai aspek kehidupan.Â
Ciri-ciri liberalisme pun ada beberapa, di antaranya: Setiap manusia punya kesempatan yang sama, Semua orang berhak mendapat perlakuan yang sama, Hukum diterapkan ke semua orang, Pemerintah ditentukan dengan persetujuan masyarakat, Negara hanya alat untuk mencapai tujuan.
Setelah kita mengetahui ciri-ciri liberalisme di atas, bagaimana jika konsep liberalisme tersebut diterapkan didalam sebuah hubungan, antara 2 orang manusia, tentunya tidak semua bisa diimplementasikan, sebab konsep awal liberalisme ialah dalam koridor sebauh negara. Namun tidak menjadi persoalan juga jika konsep liberalisme diimplementasikan dalam sebuah hubungan.Â
Kita mengetahui bahwasanya dalam sebuah hubungan antara 2 orang pasti terikat satu sama lain, hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Namun tak ayal jika kita ketahui, beberapa hubungan yang terjadi di masyarakat kadang cenderung ada salah satu pihak yang lebih dominan, tentunya hal tersebut bertolak belakang dengan konsep liberalisme. Dimana dalam liberalisme berusaha untuk menyamaratakan posisi kedua belah pihak, agar tidak ada satu pihak yang dominan, yang tentu saja dapat berujung kepada penindasan. Seperti kasus-kasus yang sudah terjadi di masyarakat, ada suami yang membunuh istrinya, ataupun sebaliknya.Â
Jadi mungkin tidak hanya pihak suami yang lebih dominan dalam sebuah hubungan, terkait hal apapun. Namun juga berusaha memberikan hak kepada istri untuk dapat melakukan hal yang sama. Mungkin di satu sisi hal tersebut ada yang menguntungkan pihak suami ataupun istri, sebab segala kebutuhan ataupun pekerjaan rumah tangga dapat dilakukan secara bersamaan, bahkan dalam kesempatan siapa yang bekerja, jika si suami bekerja maka si istri juga harus bekerja, jika istri mengurus rumah, maka si suami juga wajib untuk mengurusi rumah, bukan lagi membantu, namun menjadi kewajiban bersama.Â
Hal tersebut jika dilakukan mungkin dapat merubah sudut pandang yang sudah mengakar di masyarakat, bahwasanya tidak hanya perempuan saja yang mengurus rumah, tetap ada kewajiban suami untuk melakukannya.
Namun salah jika konsep liberalisme dimasukkan juga dalam ranah agama, sebab berbeda lagi jika kita membicarakannya dalam koridor agama. Ada hal-hal dalam agama yang sudah mengaturnya dan kita cukup menjalankan saja. Tidak mungkin jika istri yang menjadi imam sedangkan suami menjadi makmum. Tentunya hal tersebut melanggar agama.Â
Jadi konsep liberalisme dalam sebuah hubungan dibatasi oleh agama, mungkin dapat menjalankan konsep liberalisme dalam aktivitas yang sifatnya duniawi, tentunya hal tersebut sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.Â
Terkait kebebasan individu juga menjadi catatan penting dalam sebuah hubungan, sebab konsep liberalisme yang menekankan pada kebebasan pribadi pada akhirnya tidak dapat berjalan mulus dalam sebuah hubungan. Sebab pasti sudah ada batasan-batasan yang mereka ciptakan, namun sejuah itu mereka melakukan kesepakatan dengan penuh kesadaran maka hal tersebut tidak menjadi persoalan. Karena mereka melakukan hal tersebut seusai dengan apa yang telah disepakati bersama sebelumnya.Â
Hal tersebut tentunya juga sejalan dengan kesetaraan gender yang di perjuangkan oleh kamu feminisme. Sebab hak asasi manusia ialah hak istimewa yang berasal dari Tuhan dan tidak siapapun dapat mencabutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H