Belakangan ini medsos dipenuhi postingan foto seorang pemotor berplat AA mengacungkan jari tengah sebagai bentuk protesnya terhadap rombongan pesepeda roadbike yang berkendara di jalur tengah.
Merespon foto ini netizen terpecah menjadi dua kelompok. Yang pertama, kelompok pendukung pesepeda yang menyebut tindakan pemotor itu tidak pantas dan sengaja cari gara-gara. Sebaliknya, kelompok kedua yaitu netizen pendukung tindakan si pemotor yang jumlahnya ternyata jauh lebih masif dibandingkan yang mendukung rombongan pesepeda.
Kebanyakan pendukung pemotor mengungkapkan tindakan pemotor itu mewakili perasaan mereka terhadap perilaku kelompok sepeda roadbike. Sebaliknya tanggapan dari beberapa orang pendukung pesepeda malah semakin memanaskan suasana dengan balasan yang menghina dan mengungkapkan informasi pribadi termasuk keluarga si pemotor.
Yang membuat sedih, ada komentar yang menertawakan persoalan ekonomi yang dihadapi oleh pemotor berplat AA tersebut. Padahal kebanyakan masyarakat berada dalam situasi seperti pemotor itu atau mungkin kondisi ekonomi yang lebih sulit. Artinya komentar yang menertawakan kondisi si pemotor juga berarti menertawakan masyarakat banyak.
Tercatat 9,77 juta orang mengalami PHK selama tahun 2020, dan orang yang jatuh miskin bertambah sebanyak 2,7 juta orang selama pandemi. Angka koefisien gini yang digunakan sebagai alat ukuran distribusi kekayaan juga naik akibat pandemi, atau jika diartikan secara sederhana, orang kaya bertambah kaya dan orang miskin semakin susah.
Protes terhadap kelompok arogan dan melanggar aturan atau kepatutan umum bukan cuma ini. Dulu ada pesepeda yang menghadang rombongan moge di Jogja tahun 2015. Klub moge dianggap sebagai kelompok arogan dengan pengawalan khusus sehingga seringkali tidak ikut aturan lalu lintas. Perilaku tersebut menyulut kemarahan dari warga pengguna jalan lainnya dan berujung pada protes oleh pesepeda di Jogja.
Jika dipikirkan lebih jauh persoalan ini bukan cuma soal kepatutan berkendara dan aturan lalu lintas.
Media-media mainstream latah membahas sepeda roadbike berharga puluhan hingga ratusan juta Rupiah. Hal itu membuat sepeda roadbike diberi label sebagai barang mewah. Deddy Corbuzier dalam sebuah video di Youtube pada September 2019 juga sempat membahas soal harga sepeda roadbike yang diberi judul “GILA...!!! HARGA SEPEDA DEDDY CORBUZIER KEBELI SATU RUMAH !” video itu ditonton sebanyak 4.6 juta views. Padahal sepeda yang harganya fantastis bukan cuma sepeda jenis roadbike.
Faktanya tidak semua sepeda roadbike berharga puluhan juta, ada juga yang harganya 2,5 juta rupiah. Tetapi karena sudah terlanjur diceritakan sebagai barang mewah, terbentuk persepsi orang yang menggunakan sepeda roadbike pasti orang kaya.
Fasilitas istimewa di jalan umum yang diberikan kepada kelompok tertentu menjengkelkan masyarakat umum. Mengoyak rasa keadilan karena hak yang diberikan berbeda. Tahun lalu sempat diberitakan akan dibuatkan jalur sepeda road bike di jalan tol. Ada-ada aja idenya.. Lalu beberapa hari sebelum foto pemotor protes pesepeda viral, diberitakan uji coba jalur khusus road bike di jalan layang non tol Casablanca - Sudirman yang menuai protes.
Padahal sejak awal jalan layang tersebut beroperasi hanya untuk mobil penumpang. Alasannya, kondisinya berbahaya untuk motor. Angin lebih kencang, motor bisa goyah dan bertabrakan dengan mobil atau paling buruk terbang tertiup angin.. Padahal kalau diperhatikan ada saja motor yang melanggar lewat jalan itu dan setidaknya sampai hari ini belum ada motor atau penumpangnya yang nyangkut di gedung Mal Ambasador.
Di tahun 2014 sempat ada kecelakaan fatal yang memakan korban pemotor yang berboncengan dengan istrinya yang sedang hamil. Itu juga bukan karena angin melainkan karena pengendara berputar balik lalu tertabrak mobil. Istrinya yang sedang hamil itu terjatuh dari jalan layang dan tewas seketika. Kejadian itu sangat menyedihkan dan sulit untuk dilupakan oleh masyarakat. Lalu kenapa lantas sepeda roadbike dibuatkan jalur di jalan tersebut?
Konten-konten di media sosial juga menambah persoalan kecemburuan sosial. Ramai istilah seperti “IRI BILANG BOSS” dan konten pertunjukan kemewahan. Makin diperparah dengan komentar orang-orang yang menertawakan kesusahan orang lain sedangkan saat ini kita sedang berada di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Padahal kejadian revolusi Perancis di tahun 1789 sebab utamanya adalah persoalan ekonomi sehingga masyarakat memberontak kemudian mengeksekusi kaum aristokrat dan borjuis. Mengerikan jika itu terjadi di Indonesia cuma karena persoalan olahraga atau kegiatan hobi.
Sebagai perbandingan, saya coba ambil contoh perilaku angkot di waktu lalu. Mobil angkot seringkali berhenti mendadak atau berhenti di lajur tengah yang dianggap mengganggu kenyamanan. Saya mengalami sendiri berada di jalan raya pasar minggu bersama dengan dua metromini yang berjalan ugal-ugalan. Mereka balapan di jalan raya, saling susul, belok kanan mendadak, susul lagi dari kiri, jaraknya tipis dengan mobil dan motor di jalan itu, ngeri rasanya!
Padahal kondisinya sedang ramai. Kejadian itu juga mungkin sering terjadi di ruas jalan lainnya.. Apakah si sopir metromini atau angkot dihujat oleh para netizen sekeras protes mereka kepada pesepeda roadbike? Padahal apa yang dilakukan oleh mereka berisiko lebih berbahaya daripada yang dilakukan oleh rombongan roadbike.
Jadi apa yang berbeda antara angkot, moge dan roadbike? Apakah akar permasalahannya soal arogansi, lajurnya, kendaraannya atau persoalan yang lain?
Kebanyakan orang memaklumi perilaku sopir angkot atau metromini karena dianggap wajar akibat tingkat pendidikan yang kurang dan dikejar setoran harian. Walaupun juga seringkali ada makian kepada sopir angkot dari pengguna jalan lainnya. Sedangkan pengguna sepeda roadbike, dicap sebagai kelompok berpendidikan dan kaum berada yang seharusnya berperilaku baik di jalan.
Kalau persoalannya sekedar soal perilaku berkendara, kasus seperti angkot dan metromini kenapa tidak seheboh seperti kisah roadbike dan moge tersebut. Dukungan netizen terhadap sang pemotor yang melakukan protes, apakah sebagai luapan emosi akibat keresahan masyarakat terhadap keadilan dan kesejahteraan ekonomi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H