Rencana pemerintah untuk melakukan sensus pajak nasional dengan sasaran wajib pajak badan patut untuk diapresiasi sebagai terobosan untuk memetakan profil dan potensi pajak dalam agenda meningkatkan penerimaan dari pajak. Untuk pelaksanaan sensus, rencananya pemerintah akan menggunakan aparat pajak sendiri dan tenaga outsource, sebagai konsekuensinya akan timbul biaya untuk pelaksanaan sensus tersebut. Untuk menekan biaya, pemerintah dapat mempertimbangkan alternatif lain selain sensus salah satunya dengan mengumpulkan informasi penghasilan dan keuangan wajib pajak (“WP”) yang laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik dari laporan kegiatan yang wajib dilaporkan kepada kementerian keuangan setiap tahunnya. Tetapi alternatif ini belum dapat menghasilkan informasi yang optimal secara keseluruhan untuk informasi WP badan karena saat ini karena tidak semua WP badan diaudit laporan keuangannya oleh akuntan publik.
Peningkatan kualitas laporan keuangan melalui audit
Praktik pelaporan pajak di Indonesia dengan sistem self assessment yang berlaku saat ini memiliki risiko potensi penghindaran pajak apabila pelaporan keuangan yang dilakukan oleh WP tidak dilakukan secara transparan. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mengikuti ketentuan yang ada di negara maju mengenai pelaporan keuangan perusahaan sebagai benchmark untuk menciptakan iklim pelaporan keuangan yang lebih berkualitas bagi seluruh pemakai laporan keuangan melalui adanya kewajiban audit laporan keuangan bagi perusahaan atau WP badan seperti yang berlaku di beberapa negara lain.
Apabila membandingkan ketentuan pelaporan keuangan di Indonesia dengan negara lain seperti negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura serta India dan China sebagai negara dengan perkembangan ekonomi yang sangat pesat di Asia, ketentuan di negara-negara tersebut sama seperti di Indonesia yaitu terdapat kewajiban audit bagi laporan keuangan perusahaan (WP badan) melalui undang-undang (“UU”). Perbedaannya, UU di India dan Malaysia mewajibkan laporan keuangan seluruh perusahaan apapun jenisnya untuk diaudit setiap tahun oleh akuntan publik sedangkan di Indonesia laporan keuangan perusahaan yang diaudit masih terbatas untuk untuk perusahaan terbuka dan perusahaan dengan kondisi tertentu lainnya. Ketentuan di Singapura serupa dengan India dan Malaysia, hanya di Singapura terdapat ketentuan untuk tidak wajib diaudit bagi perusahaan yang tidak aktif atau terdapat syarat kondisi lainnya yang harus seluruhnya dipenuhi. Sedangkan untuk di China berbeda dengan Indonesia, yaitu terdapat kewajiban audit laporan keuangan untuk seluruh perusahaan penanaman modal asing “PMA”. Adanya ketentuan di India, Singapura, Malaysia dan China, yang mengatur audit atas laporan keuangan untuk seluruh atau sebagian besar perusahaan yang ada di negaranya membuktikan adanya komitmen dari pemerintah untuk meningkatkan transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan dengan manfaat salah satunya untuk memperkecil tingkat risiko penghindaran pajak.
Perbandingan penerimaan pajak Indonesia dengan negara pembanding
Sebagai perbandingan, pada tahun 2009 India menghasilkan produk domestik bruto (“PDB”) yang mencapai US$1.380 triliun dan memperoleh penerimaan dari pajak sebesar US$137.393 miliar dengan tax ratio (penerimaan pajak dibandingkan dengan PDB) sebesar 9.95%. Malaysia menghasilkan PDB sebesar US$193 miliar mencatat penerimaan dari pajak sebesar US$32.74 miliar dengan tax ratio 15.24%. China dengan PDB $4,991 triliun dan penerimaan pajak sebesar US $923.865 miliar memiliki tax ratio sebesar 18.51% sedangkan Singapura menghasilkan PDB $183,332 milyar mencatat penerimaan pajak sebesar $26,047 milyar dengan tax ratio sebesar 13.8%. Adapun Indonesia di tahun 2009 menghasilkan PDB sebesar $ 539,352 miliar mencatat penerimaan dari pajak sebesar $ 68,568 miliar dengan tax ratio sebesar 11.42%.
Dari data tersebut, walaupun jumlah penerimaan pajak di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan India dan China tetapi berada diatas Malaysia dan Singapura. Sedangkan untuk angka tax ratio Indonesia tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan India namun masih lebih rendah dari China, Singapura, dan Malaysia. Terlepas dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penerimaan pajak dan PDB tersebut, adanya kewajiban laporan keuangan yang diaudit untuk cakupan perusahaan yang lebih luas seperti ketentuan di Malaysia, Singapura dan China sejalan dengan perolehan tax ratio yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.
Dalam kondisi keterbatasan cakupan dan jumlah laporan keuangan WP badan yang diaudit saat ini di Indonesia, pemerintah dapat mempertimbangkan adanya ketentuan hukum yang mengatur adanya kewajiban audit bagi seluruh WP badan termasuk seluruh perusahaan penanaman modal asing yang berusaha atau didirikan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh negara lain tersebut. Keuntungan yang dapat diperoleh dari adanya ketentuan ini adalah berkurangnya beban Direktorat Jenderal Pajak terkait aktivitas penggalian potensi pajak untuk WP badan, karena dapat memperolehnya cukup dengan menghimpun data dari laporan tahunan akuntan publik yang setiap tahunnya dilaporkan kepada Kementerian Keuangan sesuai dengan UU akuntan Publik nomor 5 tahun 2011 pasal 27.
Untuk meningkatkan efektifitas pengungkapan informasi perusahaan yang diaudit, pemerintah dapat mewajibkan akuntan publik untuk melaporkan informasi posisi keuangan perusahaan (WP badan), penghasilan dan beban serta transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dan informasi lain yang berkaitan dengan pelaporan penghasilan dari laporan keuangan WP yang diperiksa oleh akuntan publik. Informasi-informasi tersebut selanjutnya akan digunakan menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pemeriksaan kepatuhan perpajakan WP badan untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H