Maksudnya pembaca kembali ke corak penulisan nyastra Pramoedya di luar dunia gemerlap kaum remaja (gaya teenlit) dan dewasa muda perkotaan, metropop masa itu. Kurasa itu bukan genre Pram. Dan tiba-tiba cerita memasuki narasi ala sebuah masterpiece sejak turun dari kereta api di Sidoarjo, menaiki alur dokar sampai di rumah pertanian dengan nada lamban dan tidak gegabah. Inilah mantan kandidat peraih Nobel Sastra yang kita kenal mengetengahkan  dilema Sastro Kassier dan betapa absurd apa yang dia representasikan : kebanggan pribadi priyayi sekaligus orang kepercayaan dari kekuatan hegemoni.
"Tapi jabatan : dia segala dan semua bagi pribumi bukan tani bukan tukang. Harta-harta boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, jabatan harus selamat. Dia bukan hanya penghidupan, di dalamnya juga kehormatan, kebenaran, harga diri, penghidupan sekaligus. Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, membohong, membanting tulang, mencelakakan sesama, demi sang jabatan. Orang bisa kehilangan apa saja untuk dia, karena, juga dengan dialah segalanya bisa ditebus kembali."
Sampai di sini tetralogi Buru kesatu dan dua -belum baca #3 dan #4- bukan karya terbaik Pram dan tidak sebagus yang digembar-gemborkan di socmed, sekalipun mungkin best seller atau terbanyak dibaca.
#mikailearns
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H