Mohon tunggu...
Mikail Baskara
Mikail Baskara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia IPI Garut

Seorang Organisatoris Pergerakan yang Bergeriliya dibidang Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kaum Tertindas dan Peran Mahasiswa : Membangun Kesadaran Kritis Dalam Gerakan Sosial

23 Januari 2025   18:01 Diperbarui: 23 Januari 2025   18:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paulo Freire adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam dunia pendidikan pada abad ke-20. Ia lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di timur laut Brazil yang dikenal dengan tingkat kemiskinannya yang tinggi. Kondisi sosial dan ekonomi ini sangat memengaruhi pemikiran Freire, terutama terkait dengan ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem pendidikan.

Melalui karyanya yang monumental, Pedagogy of the Oppressed (1970), Freire menawarkan kritik tajam terhadap sistem pendidikan konvensional yang ia sebut sebagai Pendidikan sistem bank. Dalam pendekatan ini, peserta didik diperlakukan sebagai wadah kosong yang hanya diisi oleh pengetahuan dari pendidik, tanpa adanya dialog atau partisipasi aktif. Ia menganggap sistem ini melanggengkan penindasan, karena membatasi kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan memahami realitas sosial di sekitarnya.

Pendidikan Kaum Tertindas berpusat pada pemahaman bahwa pendidikan memiliki potensi menjadi alat pembebasan atau, sebaliknya, alat penindasan, bergantung pada bagaimana sistem pendidikan itu dirancang dan diterapkan. Paulo Freire, melalui kritiknya terhadap model pendidikan tradisional yang ia istilahkan sebagai "banking education" (pendidikan gaya bank), menggambarkan bagaimana pendekatan ini memperlakukan siswa sebagai wadah kosong yang harus "diisi" oleh guru, yang bertindak sebagai otoritas tunggal. Pendekatan semacam ini, menurut Freire, tidak hanya mematikan kreativitas dan pemikiran kritis, tetapi juga memperkuat hubungan hierarkis yang menindas antara guru dan siswa.

Sebagai gantinya, Freire mengusulkan konsep "problem-posing education" (pendidikan hadap masalah), yang menempatkan dialog aktif antara guru dan siswa sebagai inti dari proses pembelajaran. Dalam pendekatan ini, guru dan siswa saling belajar, menciptakan hubungan setara, dan bersama-sama membangun kesadaran kritis---kemampuan untuk memahami realitas sosial, mengenali struktur kekuasaan yang menindas, dan secara aktif menantangnya.

Freire juga mendalami dinamika antara penindas dan tertindas, serta peran penting pendidikan dalam membantu kaum tertindas menyadari situasi mereka, mengembangkan keberanian untuk melawan ketidakadilan, dan akhirnya menjadi agen perubahan sosial. Ia menegaskan bahwa pendidikan yang membebaskan harus bertujuan pada humanisasi---yakni, memulihkan martabat manusia yang terpinggirkan. Dengan pendidikan yang membebaskan, siswa bukan hanya menjadi penerima pasif pengetahuan, tetapi juga subjek aktif yang mampu berpikir kritis, bertindak, dan mengambil peran dalam transformasi masyarakat ke arah yang lebih adil dan egaliter.

Pemikiran Paulo Freire memiliki relevansi yang sangat besar bagi Indonesia kontemporer, terutama dalam upaya mengatasi ketimpangan pendidikan, mendorong pemberdayaan masyarakat, dan memperkuat demokrasi. Di tengah tantangan ketimpangan akses pendidikan, terutama di wilayah terpencil dan marginal, pendekatan pendidikan partisipatoris ala Freire menawarkan solusi yang menempatkan dialog, kesetaraan, dan pemberdayaan sebagai inti proses pembelajaran. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada transfer pengetahuan, tetapi juga mendorong siswa dan masyarakat untuk memahami realitas sosial mereka, mengenali ketidakadilan, dan mengambil tindakan untuk perubahan.

Selain itu, gagasan Freire tentang problem-posing education dapat diterapkan dalam konteks pendidikan keadilan sosial di Indonesia, termasuk pemberdayaan perempuan, penghapusan diskriminasi berbasis etnis atau agama, serta upaya membangun solidaritas lintas kelompok. Pendidikan berbasis kesadaran kritis ini dapat menjadi alat untuk membongkar pola pikir yang bias, melanggengkan ketidakadilan, atau menormalisasi ketimpangan struktural dalam masyarakat.

Dalam konteks demokrasi, Freirean education berkontribusi pada penguatan partisipasi warga negara. Dengan membangun kesadaran kritis, pendidikan ini mempersiapkan individu untuk menjadi subjek yang aktif, reflektif, dan partisipatif dalam proses pengambilan keputusan publik. Hal ini sangat relevan di Indonesia, di mana tantangan seperti rendahnya partisipasi politik, polarisasi sosial, dan manipulasi informasi masih menjadi hambatan bagi demokrasi yang sehat.

Namun, implementasi pendekatan Freire ini tidaklah tanpa tantangan. Hambatan budaya, keterbatasan sumber daya, serta resistensi dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh status quo dapat menghambat upaya transformasi pendidikan. Meskipun demikian, dengan komitmen kolektif dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil, konsep pendidikan Freire dapat menjadi katalisator untuk membangun masyarakat Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan demokratis.

PERAN MAHASISWA UNTUK MEMBANGUN KESADARAN KRITIS DALAM GERAKAN SOSIAL

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun