Mohon tunggu...
Mikael Gunawan
Mikael Gunawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya adalah pelajar yang aktif dan ingin cari tahu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekskursi ke Pesantren Nur El Falah: Merajut Kebersamaan Dalam Perbedaan

19 November 2024   07:59 Diperbarui: 19 November 2024   08:07 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekskursi ke Pesantren Nur El Falah adalah pengalaman yang membuka mata dan hati saya terhadap keindahan keberagaman. Sebagai seorang Katolik, awalnya saya merasa cemas dan penuh tanya. Bagaimana reaksi mereka terhadap kehadiran saya? Mampukah saya menyesuaikan diri dengan budaya yang sangat berbeda? Namun, kekhawatiran itu segera menguap ketika saya disambut dengan senyuman ramah dan salam hangat dari para santri.  

Pesantren Nur El Falah terletak di sebelah jalan yang begitu ramai, tak jauh beda dari kehidupan di Jakarta. Tetapi, ketika saya tiba suasana damai langsung menyelimuti hati. Bangunan sederhana pesantren mencerminkan kesederhanaan hidup di sana, namun ada kehangatan luar biasa dalam interaksi antar penghuni. Para santri dan ustaz dengan senang hati memperkenalkan saya pada kehidupan sehari-hari mereka, membuat saya merasa diterima sebagai bagian dari keluarga besar mereka.  

Pagi itu, saya mengikuti aktivitas subuh di masjid. Meskipun tidak turut serta dalam doa, saya mendengarkan dengan khidmat lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan para santri. Ada sesuatu yang menyentuh hati dalam irama dan maknanya, meskipun saya tidak sepenuhnya memahami. Setelah itu, saya bergabung dalam sebuah kajian pagi. Ustaz yang memimpin diskusi berbicara tentang pentingnya toleransi dalam kehidupan sehari-hari, mengutip kisah-kisah Nabi Muhammad yang penuh kasih sayang terhadap umat manusia tanpa memandang latar belakang.  

Di sela-sela aktivitas, saya berbincang dengan beberapa santri. Mereka dengan antusias bertanya tentang keyakinan saya, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami. Saya pun bertanya tentang kehidupan mereka di pesantren, rutinitas belajar, dan cita-cita mereka di masa depan. Dari percakapan itu, saya menyadari bahwa meskipun kami berbeda dalam banyak hal, ada begitu banyak kesamaan: harapan, mimpi, dan keinginan untuk menjadi manusia yang bermanfaat.  

Salah satu momen paling berkesan adalah ketika kami bergotong royong membersihkan area masjid. Meski awalnya saya merasa canggung, santri lainnya dengan cepat membantu saya menyesuaikan diri. Bersama-sama kami menyapu, mengelap kaca, dan merapikan alas sholat. Di tengah pekerjaan, tawa dan candaan ringan membuat suasana terasa akrab. Saya belajar bahwa kebersamaan tidak memerlukan kesamaan keyakinan, tetapi rasa saling menghormati dan kemauan untuk bekerja sama.  

Siang harinya, saya diajak menikmati makan bersama di mat'am, atau restoran. Memang tidak seperti restoran konvensional yang terdapat kursi dan makanan mewah. Justru sangat berbanding terbalik, makanan kami dibawakan menggunakan gerobak di dalam tong-tong yang biasanya kita lihat dijadikan tong sampah di Jakarta. Makanannya pun sangat sederhana, nasi yang bercampur dengan kerikil, protein yang didapatkan dari tempe saja, dan sayur yang sudah lembek menjadi makanan sehari-hari para santri. Cara makan para santri juga sangat unik, mereka tidak mengambil satu-dua porsi untuk makan sendiri tetapi mengambil porsi banyak dalam suatu wadah besar dan memakannya sambil jongkok.

Dalam sebuah sesi diskusi sore, kami berbicara tentang peran agama dalam menciptakan perdamaian. Salah satu santri berkata, "Agama itu ibarat sungai yang menuju lautan. Meski alirannya berbeda, tujuannya tetap sama: mendekatkan diri pada Sang Pencipta." Kata-kata itu begitu mendalam dan membuat saya merenung. Betapa indahnya jika kita semua, dengan segala perbedaan yang ada, saling mendukung dalam perjalanan spiritual masing-masing.  

Pada malam harinya, saya mengikuti acara seni budaya yang diadakan para santri. Mereka menampilkan berbagai pertunjukan, mulai dari pembacaan puisi hingga tarian tradisional. Di akhir acara, saya diminta berbagi cerita tentang pengalaman saya di pesantren. Dengan sedikit gugup, saya menceritakan betapa pengalaman ini telah membuka mata saya akan pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan.  

Hari itu diakhiri dengan refleksi pribadi di bawah langit berbintang. Dalam keheningan malam, saya merenungkan semua yang telah saya alami. Betapa kayanya hidup ketika kita mau melangkah keluar dari zona nyaman dan bersedia mendengarkan kisah orang lain. Keberagaman yang saya temui di Pesantren Nur El Falah mengajarkan saya bahwa manusia, meski berbeda agama atau budaya, memiliki banyak persamaan yang bisa dirayakan.  

Ketika tiba saatnya berpamitan, hati saya terasa berat. Para santri dan ustaz melambaikan tangan dengan senyuman yang tulus. Mereka tidak hanya memberi saya pelajaran tentang kehidupan di pesantren, tetapi juga mengingatkan saya bahwa kebaikan melampaui batas-batas keyakinan.  

Ekskursi ini adalah perjalanan kecil yang memberi dampak besar. Saya pulang dengan hati yang lebih terbuka, membawa kenangan indah tentang kebersamaan yang terjalin dalam perbedaan. Pesantren Nur El Falah mengajarkan saya bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan jembatan yang menghubungkan manusia menuju pemahaman, cinta, dan damai.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun