Mohon tunggu...
Mikael Ernest Susanto
Mikael Ernest Susanto Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMA Kanisius

Amatir dalam menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghargai Keberagaman: Dialog Sekolah Katolik dan Pesantren

17 November 2024   16:09 Diperbarui: 20 November 2024   11:23 1694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

 "Keberagaman bukanlah pemisah, tetapi penghubung yang menguatkan persatuan." --- Nelson Mandela

Kedatangan saya ke Pondok Pesantren Al Furqon di Tasikmalaya bersama teman-teman dari Kolese Kanisius bukan sekadar perjalanan fisik yang menghubungkan dua tempat, tetapi lebih dari itu, sebuah perjalanan spiritual dan budaya yang membawa saya pada pemahaman yang lebih dalam tentang toleransi. Kami tiba pada siang hari, disambut dengan hangat oleh para santri yang menganggap kami sebagai bagian dari keluarga mereka, meskipun kami berasal dari latar belakang yang sangat berbeda. Kehangatan sambutan ini terasa lebih dari sekadar ucapan selamat datang; ia menciptakan ruang untuk saling memahami, merayakan perbedaan, dan menguatkan jembatan antara kami. Perbedaan kami yang mencolok dalam hal agama, budaya, dan kebiasaan tidak menjadi hambatan, tetapi justru menjadi kekuatan yang memperkaya pengalaman kami di sana. Toleransi, sebagaimana diajarkan oleh Paus Fransiskus, adalah kemampuan untuk menerima perbedaan dengan hati terbuka dan melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar dari satu sama lain. Di Indonesia, negara dengan keberagaman budaya dan agama yang luar biasa, Paus Fransiskus mengajarkan kita bahwa "perbedaan tidak boleh menjadi penghalang, tetapi justru peluang untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih damai" (Paus Fransiskus, 2024). Pengalaman saya di Al Furqon menegaskan kebenaran dari kata-kata tersebut, di mana perbedaan kami tidak hanya diterima, tetapi dirayakan. Kami belajar bersama, bermain bersama, dan yang terpenting, saling menghormati.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Kebersamaan dalam Keseharian

Hari pertama kami diisi dengan kegiatan olahraga bersama para santri. Kami bermain basket dan futsal, dua kegiatan yang menguji semangat kebersamaan kami. Di lapangan futsal, saya menyadari bahwa meskipun kami datang dari dunia yang sangat berbeda---kami menggunakan teknologi modern untuk berkomunikasi, sementara para santri lebih terbiasa dengan kehidupan sederhana tanpa gangguan dari perangkat elektronik---kami semua memiliki satu hal yang sama: semangat untuk bermain dan bekerja sama. Futsal dan basket bukan hanya olahraga bagi kami; mereka menjadi simbol dari persatuan. Kami beradu kekuatan di lapangan, namun setelah permainan berakhir, kami kembali menjadi teman yang saling mendukung. Perbedaan yang ada di luar lapangan lenyap begitu saja, tergantikan oleh semangat yang menyatukan kami.

Matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan tinggi yang mengelilingi lapangan, memancarkan sinar keemasan yang memantul pada lantai lapangan futsal yang sedikit berdebu. Suara sepatu yang bergesekan dengan tanah bercampur dengan gemuruh tawa, seruan semangat, dan teriakan kegembiraan. Udara sore terasa hangat, namun angin tipis sesekali menyapu, membawa aroma khas dari daun-daun basah dan tanah yang baru saja disiram hujan pagi tadi. Di sudut lapangan, beberapa santri duduk di atas bangku kayu sederhana, beristirahat sambil mengobrol dengan santai. Sebuah ring basket berdiri kokoh di sisi lain, catnya sedikit memudar, tetapi masih memantulkan cahaya lembut matahari. Langit mulai berubah warna menjadi oranye, menciptakan latar yang begitu indah, seolah-olah melukiskan harmoni yang tengah tercipta di antara kami semua.

Di malam itu, kami berkumpul untuk makan bersama di ruang makan yang sederhana namun penuh kehangatan. Sambil menikmati hidangan, kami mulai berbincang tentang berbagai hal. Diskusi ini berkembang dari pembicaraan ringan tentang kehidupan sehari-hari hingga perbincangan lebih mendalam tentang pendidikan dan pandangan hidup. Para santri menunjukkan betapa mereka menghargai pendidikan, tidak hanya dalam konteks agama tetapi juga dalam berbagai disiplin ilmu. Kami membahas banyak topik yang sering kali terlupakan dalam kehidupan kami di Jakarta, seperti pentingnya menjaga hubungan dengan alam dan mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam dunia yang semakin maju. Meski kami datang dari latar belakang yang berbeda, saya merasakan ada kesamaan di antara kami: keinginan untuk belajar, berkembang, dan menciptakan masa depan yang lebih baik.

Menurut saya, pengalaman ini memberikan pemahaman lebih dalam tentang bagaimana pendidikan dan toleransi dapat berjalan berdampingan dalam menciptakan masyarakat yang harmonis. Di tengah perbedaan, toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan tersebut, tetapi juga tentang merayakan kesamaan yang ada. Toleransi berarti memberi ruang bagi orang lain untuk hidup sesuai dengan keyakinan dan budaya mereka, tanpa menilai atau menghakimi. Seperti yang diajarkan oleh Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Indonesia, "Toleransi adalah keyakinan kita dalam mengembangkan dialog dan kebersamaan di tengah perbedaan" (Paus Fransiskus, 2024). Pesan ini sangat terasa di pesantren Al Furqon, di mana para santri dan kami---siswa Kolese Kanisius---berbagi ruang untuk belajar dan berkomunikasi meskipun berbeda dalam banyak hal.

Toleransi, sebagaimana dimaknai dalam dialog lintas agama, juga mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal yang mengutamakan penghormatan dan kerja sama. Lebih dari sekadar menerima, toleransi mendorong kita untuk menggali potensi kolaborasi di tengah perbedaan. Hal ini selaras dengan pemikiran Dalai Lama yang mengatakan, "Ketika kita menerima perbedaan dan fokus pada kesamaan, kita menemukan kedamaian di dalam diri kita dan dunia." Pengalaman di Al Furqon mempertegas bahwa dialog adalah kunci untuk menjembatani kesenjangan pemahaman. Dengan dialog, bukan hanya perbedaan yang dipahami, tetapi juga kesamaan yang dirayakan, menciptakan ruang untuk kerjasama yang saling menguntungkan dalam masyarakat yang majemuk.

Sumber: Agustinus Eko Andriyanto
Sumber: Agustinus Eko Andriyanto

Pada pagi hari berikutnya, kami melanjutkan perjalanan ke Curug (air terjun) dan pemandian air hangat. Keindahan alam di sekitar pesantren membawa saya pada kesadaran betapa kesederhanaan itu mengajarkan banyak hal. Berbeda dengan Jakarta, tempat ini terasa lebih murni dan dekat dengan alam. Begitu pula dengan hidup para santri yang jauh dari kecanduan teknologi, namun mereka memiliki kedamaian batin dan ketenangan dalam menjalani hari-hari mereka. Perbedaan yang jelas terlihat dalam gaya hidup kami, namun dalam segala kesederhanaan itu, saya menyadari bahwa ada pelajaran yang jauh lebih besar tentang kedamaian, persahabatan, dan kebersamaan. Di sini, saya belajar bahwa kenyamanan tidak selalu berarti kemewahan, dan kebersamaan bukan hanya soal kesamaan, melainkan juga saling menghargai perbedaan. 

"Dialog adalah jembatan yang menghubungkan perbedaan." --- Desmond Tutu

Malam hari menjadi puncak pengalaman yang paling berkesan bagi saya. Saat itu, saya, bersama dengan tiga teman saya dari Kanisius, berkesempatan untuk mengikuti dialog beragama dengan empat santri dari Al Furqon. Di ruang yang sederhana di lantai dua masjid, kami duduk melingkar, berbicara tentang iman, keyakinan, dan bagaimana setiap agama mengajarkan kasih dan perdamaian. Di tengah diskusi, saya merasa ada rasa saling menghormati yang mendalam. Para santri tidak hanya mendengarkan kami, tetapi juga memberikan ruang bagi kami untuk mengungkapkan pandangan kami tanpa rasa takut akan penilaian atau penghakiman. Kami berbicara tentang perjalanan mencari Tuhan dan tentang jalan hidup masing-masing. Ada satu momen yang sangat mengesankan bagi saya, saat seorang santri berkata, "Perbedaan keyakinan itu tidak masalah, yang penting adalah bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan damai." Pernyataan ini, meskipun sederhana, menunjukkan betapa dalamnya pemahaman mereka tentang toleransi.

Toleransi dan Persatuan dalam Keberagaman 

Salah satu hal yang paling saya kagumi selama dialog beragama ini adalah tidak ada perasaan canggung atau ketegangan di antara kami. Sebaliknya, setiap orang tampak berusaha memahami pandangan satu sama lain. Seperti yang disampaikan oleh Quraish Shihab, "Dalam keragaman, ada kekuatan yang bisa kita gali bersama. Pendidikan adalah kunci utama untuk memahami perbedaan dan merayakan keberagaman." Toleransi, dalam pandangan saya, bukan hanya soal menghindari konflik, tetapi juga tentang merangkul perbedaan dengan penuh kasih dan saling menghargai.

Dialog kami berlangsung dengan penuh kehangatan dan penuh refleksi. Kami bukan hanya berbicara tentang teori agama, tetapi juga berbagi pengalaman hidup. Ketika seorang santri menceritakan bagaimana dia belajar untuk menerima orang lain yang berbeda agama, saya merasa sangat terinspirasi. Bagi saya, ini bukan hanya tentang belajar agama, tetapi juga tentang memahami bagaimana setiap individu, meskipun berbeda, bisa berkontribusi pada masyarakat yang lebih baik. Toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi lebih dari itu, yaitu melihat manusia sebagai sesama dengan segala potensi dan impian yang bisa saling memperkaya satu sama lain.

Di akhir malam, saya merasa lebih kaya dalam hal pemahaman. Kami, yang awalnya mungkin hanya melihat perbedaan, kini bisa saling menghargai dan melihat kesamaan yang ada di antara kami. Saya merasa lebih terhubung dengan para santri, meskipun agama kami berbeda. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, "Tidak ada jalan menuju perdamaian, perdamaian itu sendiri adalah jalan." Dialog kami bukan hanya momen untuk berbicara, tetapi juga untuk menciptakan jalan perdamaian melalui pemahaman dan saling menghargai.

Pengalaman kami di pesantren ini bisa dianalogikan dengan proses merajut sebuah kain. Setiap benang, yang mungkin berasal dari berbagai jenis dan warna, saling bersatu untuk membentuk sebuah kain yang indah. Begitu pula dengan kami---berbagai latar belakang dan keyakinan yang berbeda---saling bersatu melalui pendidikan, dialog, dan kegiatan bersama, menghasilkan sebuah harmoni yang lebih kuat daripada sekadar kebersamaan. Layaknya sebuah kain yang saling mengikat benang-benang berbeda untuk menghasilkan keindahan, kami pun belajar bahwa perbedaan itu bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan bersama.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi juga tentang merayakan keberagaman itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, 

"Senjata terbesar kita untuk perdamaian adalah dialog."

 Melalui dialog beragama yang kami lakukan di Al Furqon, saya menyadari bahwa perbedaan kita adalah kesempatan untuk tumbuh bersama, untuk mengerti, dan untuk merayakan keberagaman yang ada di tengah-tengah kita. Seperti kata-kata yang sering saya dengar, "Kita mungkin berbeda, tetapi kita semua adalah satu dalam kemanusiaan." Saya yakin bahwa pengalaman ini akan selalu menjadi pelajaran hidup yang berharga, yang akan membimbing saya untuk menjadi pribadi yang lebih toleran, terbuka, dan penuh kasih terhadap sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun