Kasus skandal guru besar yang melibatkan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) telah mencoreng wajah dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Tidak hanya soal integritas, kasus ini juga memperlihatkan masalah besar dalam sistem pengangkatan guru besar yang seringkali mengutamakan administrasi dibandingkan kualitas. Jika masalah ini tidak segera diatasi, masa depan akademik Indonesia berada dalam ancaman serius.
Kasus ini menunjukkan bagaimana ambisi untuk mengejar jabatan guru besar telah menjerumuskan beberapa dosen ke dalam pelanggaran etika. Mereka membayar untuk memuat artikel di jurnal predator dan berusaha "mengakali" syarat-syarat yang ada. Akibatnya, status akreditasi ULM turun dari A menjadi Baik, dan para mahasiswa serta lulusan kampus tersebut kini harus menanggung akibatnya. Kejadian ini bukan hanya masalah individu tetapi juga mengindikasikan kelemahan sistemik dalam tata kelola pendidikan tinggi Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), masalah ini hanya puncak gunung es. Banyak institusi pendidikan lain diduga memiliki kasus serupa. Arief Anshory, seorang guru besar dari Universitas Padjadjaran, mengungkapkan bahwa banyak guru besar yang kualitasnya tidak sesuai standar. Bahkan, ada yang hanya butuh satu tahun setelah lulus S3 untuk mencapai jabatan tersebut, sesuatu yang dinilai mustahil tanpa manipulasi. Lebih jauh, investigasi Tempo menunjukkan bahwa beberapa dosen membayar hingga Rp135 juta untuk menerbitkan artikel di jurnal predator demi memenuhi syarat pengangkatan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan telah mencabut status guru besar 11 dosen ULM dan melakukan pemeriksaan terhadap 20 dosen lain. Selain itu, mereka sedang mengkaji ulang sistem pemeriksaan administratif untuk pengangkatan guru besar agar lebih transparan dan terintegrasi. Langkah ini diambil untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Sistem pengangkatan guru besar di Indonesia saat ini ibarat sebuah jalan tol tanpa pengawasan yang memadai. Banyak kendaraan melintas tanpa dicek kelayakannya, sehingga wajar jika ada kendaraan yang tidak layak tetap dibiarkan masuk. Akibatnya, jalan tol ini berisiko rusak, sama seperti reputasi pendidikan kita. Untuk mencegah hal ini, diperlukan pengawasan yang lebih ketat dan aturan yang jelas agar hanya kendaraan yang benar-benar layak yang boleh lewat.
Menyelamatkan dunia akademik Indonesia bukan hanya soal memberi sanksi kepada pelaku pelanggaran, tetapi juga memperbaiki sistem yang telah memungkinkan praktik ini terjadi. Dengan pengawasan ketat, aturan yang lebih adil, dan dukungan untuk riset berkualitas, kita dapat mengembalikan integritas pendidikan tinggi Indonesia. Jangan sampai skandal ini menjadi tradisi yang merugikan masa depan generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H