Keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan." -- Jenderal George S. Patton
"Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, adalah rumah bagi ribuan budaya, bahasa, dan tradisi. Keberagaman ini adalah identitas bangsa yang seharusnya menjadi kekuatan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang keberagaman justru menjadi tantangan, bahkan potensi konflik. Di tengah tantangan tersebut, pengalaman saya mengikuti ekskursi ke Pondok Pesantren Al-Falah di Pandeglang, Jawa Barat, mengajarkan saya bagaimana keberagaman dapat menjadi jembatan yang menghubungkan, bukan dinding yang memisahkan.
Sebagai siswa yang tumbuh di sekolah Katolik di Jakarta, kehidupan saya penuh dengan kenyamanan modern. Gedung bertingkat, ruang kelas ber-AC, dan akses tanpa batas ke internet adalah hal yang biasa. Dunia saya terasa homogen dan jauh dari kompleksitas keberagaman Indonesia yang sebenarnya. Namun, kunjungan ke Pondok Pesantren Al-Falah mengubah perspektif saya sepenuhnya.
Kehidupan di Pesantren: Kesederhanaan yang Kaya Akan Nilai
Hari pertama di Al-Falah, saya disambut oleh suasana sederhana yang penuh makna. Para santri memulai hari mereka dengan bangun pukul 4 pagi untuk melaksanakan sholat Subuh. Meski saya tidak ikut dalam ibadah, saya tetap bangun bersama mereka dan merasakan disiplin kehidupan pesantren. Kegiatan pagi dilanjutkan dengan sekolah, membantu di kebun, hingga diskusi santai di sore hari.
Saya tidur di kamar santri yang sederhana. Temboknya kusam, lemari kayunya tua, dan matras tipis di lantai digunakan bersama lima orang. Namun, justru dalam kesederhanaan itu saya menemukan kenyamanan. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan yang sulit saya temukan di kehidupan kota. Momen lain yang tak terlupakan adalah makan malam bersama di atas daun pisang yang digelar di jalan. Nasi uduk hangat dan ikan bakar menjadi hidangan sederhana yang terasa begitu istimewa karena dinikmati bersama.
Memaknai Keberagaman
Di Al-Falah, saya bertemu dengan santri dan siswa-siswi dari berbagai latar belakang. Mereka berasal dari daerah yang berbeda, dengan logat bahasa yang beragam, namun hidup bersama dalam harmoni. Saat pertama kali berbincang dengan para santri, awalnya saya merasa ragu apakah mereka akan menerima saya, seorang siswa Katolik dari Jakarta. Namun, keraguan itu segera sirna. Mereka menyambut saya dengan senyuman dan pertanyaan penuh rasa ingin tahu.
Perbedaan agama kami tidak menjadi penghalang, melainkan menjadi jembatan. Percakapan kami dipenuhi dengan rasa saling menghormati. Mereka bertanya tentang doa di gereja, sedangkan saya penasaran tentang hafalan Al-Qur'an. Dialog ini mengajarkan bahwa pemahaman bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan hasil dari rasa ingin tahu yang tulus dan keinginan untuk saling memahami.
Menjawab Tantangan Keberagaman
Namun, dalam realitas sehari-hari, keberagaman sering kali disertai dengan prasangka dan stereotip. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan orang-orang dari latar belakang berbeda. Di sinilah peran pendidikan dan pengalaman langsung menjadi penting. Ekskursi seperti yang saya alami di Al-Falah adalah salah satu cara untuk menjembatani kesenjangan ini.
"Kamu tidak akan pernah memahami seseorang sampai kamu berjalan dalam sepatu mereka." -- Harper Lee
Melalui pengalaman langsung, saya bisa memahami kehidupan orang lain, menghargai perjuangan mereka, dan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Interaksi seperti ini bukan hanya memperluas wawasan saya, tetapi juga membangun rasa empati yang lebih dalam.
Refleksi dan Pembelajaran
Melalui ekskursi saya ke Pesantren Al-Falah, saya belajar bahwa keberagaman adalah sebuah karunia yang harus dijaga dan dirayakan. Pengalaman hidup bersama para santri membuka mata saya akan arti sebenarnya dari toleransi dan kebersamaan. Di tengah perbedaan agama, budaya, dan kebiasaan, saya menemukan satu kesamaan yang mendasar: kemanusiaan. Kita semua, apa pun latar belakang kita, adalah bagian dari komunitas yang lebih besar, komunitas bangsa Indonesia.
Setelah pulang ke Jakarta, saya membawa pelajaran dari Al-Falah ke kehidupan saya. Saya mulai lebih terbuka untuk mendengar cerita orang lain, terutama mereka yang memiliki latar belakang berbeda. Pengalaman di Al-Falah tidak hanya memberikan pelajaran bagi saya secara pribadi, tetapi juga menjadi inspirasi untuk membangun hubungan yang lebih inklusif di lingkungan saya. Saya percaya bahwa setiap individu memiliki peran dalam merawat keberagaman ini. Dimulai dari langkah kecil, seperti saling mendengarkan dan berbagi, kita bisa menciptakan harmoni di tengah perbedaan.
Keberagaman bukanlah tantangan, melainkan peluang. Peluang untuk belajar, tumbuh, dan membangun masyarakat yang lebih kuat. Sebagai generasi muda, tanggung jawab kita adalah menjaga keberagaman ini tetap hidup dan sehat. Seperti kata pepatah, "Jangan bertanya apa yang dapat negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang dapat kamu berikan kepada negaramu." Dengan semangat ini, mari kita jadikan keberagaman sebagai jembatan untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H