Dalam pasar yang sangat kompetitif saat ini, peran praktisi Hubungan Masyarakat (PR) menjadi lebih penting dari sebelumnya. PR melibatkan pengelolaan komunikasi perusahaan dengan publik, media, dan pemangku kepentingan lainnya. Ini tentang membentuk persepsi publik terhadap suatu organisasi, menangani krisis, dan membangun citra positif. Meskipun penting, PR sering disalahpahami sebagai hanya menangani hubungan media atau menghasilkan publisitas. Pada kenyataannya, praktisi PR terlibat dalam berbagai kegiatan, seperti komunikasi strategis, manajemen merek, dan analisis opini publik.
Pusat dari semua tugas ini adalah kreativitas. Kreativitas bukan sekedar keterampilan bagi seorang praktisi PR, tapi merupakan suatu kewajiban. Kemampuan untuk menyusun sebuah narasi yang menarik perhatian publik sambil mempertahankan dan meningkatkan citra merek adalah inti dari apa yang dilakukan oleh seorang PR. Baik itu mengubah potensi bencana PR menjadi keuntungan atau menyusun kampanye yang menangkap imajinasi publik, pemikiran kreatif adalah aset terbesar dari praktisi PR. Namun, beberapa tahun belakangan ini kreativitas seorang PR mulai dipertandingkan dengan alat-alat AI.
AI (Artificial Intelligence), atau kecerdasan buatan, telah menjadi salah satu alat PR selama beberapa waktu belakangan ini. Teknologi ini dapat membantu analisis data, membantu dalam menanggapi pertanyaan pelanggan, dan mengotomatisasi tugas-tugas yang memakan waktu seperti pemantauan media dan pembuatan laporan. Dengan menangani tugas-tugas rutin ini, AI memungkinkan profesional PR untuk lebih fokus pada pekerjaan yang lebih strategis dan kreatif. Pemanfaatan alat AI telah meningkatkan efisiensi pekerjaan PR, serta memungkinkan PR untuk memberikan hasil yang lebih berdampak. Namun, seiring alat tulis AI menjadi lebih canggih, ada kekhawatiran yang semakin besar bahwa peran praktisi PR mungkin terancam. Alat ini dapat menghasilkan konten dengan cepat dan efisien, menimbulkan pertanyaan apakah mereka mungkin suatu hari menggantikan kreativitas manusia dalam PR. Meskipun saya sendiri tidak begitu setuju pada pandangan bahwa AI akan membuat profesional PR usang, perlu untuk memeriksa dampak teknologi ini terhadap proses kreatif.
Semester ini, sebagai mahasiswa yang mempelajari Hubungan Masyarakat Digital, saya memiliki kesempatan untuk mendalami isu-isu ini. Di bawah bimbingan dosen saya, Marshelia Gloria Narida, S.S., M.A., seorang praktisi PR yang terutama mengajar sebagai dosen Prodi Ilmu Komunikasi peminatan Public Relations, saya telah mengeksplorasi nuansa penulisan kreatif PR dan PR Digital. Dalam kelas penulisan kreatif kami, kami telah membahas keterampilan penting seperti menyusun siaran pers dan merangkai narasi yang menarik perhatian. Sementara itu, dalam PR Digital, kami berfokus pada pembuatan konten, acara digital, dan melakukan penelitian online. Kursus-kursus ini sangat informatif, memberikan dasar yang kuat untuk memahami peran kreativitas dalam kehumasan.
Satu topik yang sangat menarik bagi saya adalah penggunaan AI dalam PR. Melalui diskusi bersama, saya belajar tentang potensi dan keterbatasan AI di bidang Public Relations. Meskipun alat-alat AI dapat sangat membantu, mereka tidak mungkin sepenuhnya menggantikan keterampulan menulis manusia. AI bisa kreatif dengan caranya sendiri, tetapi tidak bisa melampaui kedalaman dan nuansa kreativitas manusia. Diskusi ini menekankan bahwa AI harus dilihat sebagai sebuah alat. AI hanyalah sebuah pembantu berharga yang dapat meningkatkan pekerjaan PR, tetapi bukan pengganti kecerdikan manusia.
Mendukung perspektif ini, sebuah artikel oleh Nicholas Berryman, Konsultan Komunikasi, berjudul "AI in Public Relations: the Benefits and Risks of Change," yang diterbitkan di Prowly.com pada 13 Mei 2024, memberikan wawasan berharga. Menurut penelitian mereka, 40% praktisi PR merasa "Senang" dengan pengenalan AI ke dalam pekerjaan PR, dan 22,6% lagi menjawab "Sangat Senang," dengan skor kepuasan total sebesar 65%.
Ini menunjukkan penerimaan umum dan optimisme tentang peran AI dalam PR. Artikel tersebut juga menyoroti bagaimana AI digunakan untuk menghasilkan ide, mendukung penelitian, dan dan sebagainya. Namun, artikel ini juga mengungkapkan kekhawatiran di kalangan praktisi PR. Tiga kekhawatiran utama adalah "Manipulasi dan berita palsu" (63,9%), "Kehilangan sentuhan manusia" (56,1%), dan "Unifikasi dan kurangnya kreativitas" (50,6%).
Statistik tersebut mencerminkan tren industri saat ini. Meskipun banyak yang menyambut AI untuk efisiensi dan dukungannya, ada kekhawatiran signifikan tentang bagaimana hal itu dapat mempengaruhi esensi pekerjaan PR. Ketakutan kehilangan "sentuhan manusia" dan kreativitas sangat relevan. Kreativitas berkembang dari pengalaman manusia, seperti emosi, wawasan, dan kemampuan manusia untuk menghubungkan ide-ide yang baragam. Inilah kreativitas yang memungkinkan manusia untuk berinovasi, melihat lebih jauh ke masa depan, dan menciptakan strategi yang benar-benar menonjol di pasar yang sangat kompetitif. Jika PR terlalu bergantung pada AI, ada risiko bahwa PR mungkin kehilangan keunggulan kreatif ini.