Kasus rasisme di Indonesia seakan tidak ada habisnya terutama terhadap orang Papua yang dianggap meresahkan oleh masyarakat sekitar di karenakan ras dan budaya yang berbeda sehingga pandangan negatif itupun muncul yang mengakibatkan orang Papua terus mengalami penindasan.Â
Seperti yang sudah terjadi 3 tahun lalu tepatnya di Yogyakarta yaitu kasus tentang pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian, dimana kasus pengepungan tersebut merupakan diskriminasi atau penindasan terhadap mahasiswa Papua.Â
Kasus rasis seperti ini juga sering terjadi sebelum kasus pengepungan asrama begitu juga sama kasus-kasus sebelumnya yakni tentang kasus diskriminasi, Presiden Mahasiswa Papua DIY Aris Yeimo juga mengatakan kasus tersebut terjadi dalam bentuk penegakan hukum yang timpang terhadap kasus-kasus yang melibatkan mahasiswa Papua. Bila orang Papua jadi korban, perkara tak pernah tuntas diusut. Namun jika orang Papua jadi pelaku kejahatan, kasus begitu cepat ditangani.
Di luar segala insiden dan stereotip terhadap orang Papua, Roy salah satu penghuni asrama sebetulnya senang tinggal di Yogya. Biaya hidup sehari-hari di Yogya jelas lebih murah ketimbang di Papua. Yogya pun memberikan ilmu dan jejaring pertemanan luas baginya. Di Yogya kami dapat banyak teman, bisa bangun komunikasi dengan kawan-kawan daerah lain sehingga bisa saling memahami kondisi di berbagai daerah.Â
Wawasan kami jadi lebih luas. Banyak ilmu kami dapatkan di sini," ujar Roy. Dia berkata lagi sembari tersenyum, "Siapa tak tahu Yogya? Yogya terkenal sebagai kota pendidikan. Sejak SMP, saya sudah tahu Yogya. Ada juga saudara saya lebih awal pergi ke sini. Akhirnya saya ke Yogya saja. Ternyata sampai di Yogya, betah juga."Â
Dalam kasus tersebut aparat penegak hukum tidak boleh sembarang menilai orang hanya dari warna kulit jika kasus begini terus terjadi maka masyarakat Papua pasti akan menjadi korban, memang sebagian orang Papua memiliki karakter yang keras karena faktor biologis tempat tinggal namun ada juga orang Papua yang memiliki perilaku yang baik. Oleh sebab itu aparat dan penegak hukum harus mengambil andil dalam menangani kasus tersebut.
Kasus diskriminasi selanjutnya yaitu tentang mahasiswa Papua yang kesulitan mendapatkan kost seperti kasus yang dialami oleh Benediktus Fatubun setiap ia sedang mencari kost sang pemilik rumah selalu mengatakan kamar kos sudah penuh atau sudah tidak menerima kos. Mahasiswa yang biasa dipanggil Benfa ini tidak tahu pasti apa penyebabnya.Â
Yang jelas dia yang sudah diterima menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi sampai sebulan tidak juga mendapatkan tempat kos. Belakangan Benfa tahu, penolakan itu lantaran dia orang Papua. "Ada yang bilang, tidak menerima kos untuk anak Papua".
Sampai sekarang, perlakuan diskriminatif dan rasis masih sering di terima, Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua mengatakan bahwa perbedaan perlakuan terhadap orang Papua tidak hanya terjadi di Yogyakarta tetapi juga di beberapa daerah lain termasuk di Jakarta.Â
'Susah bayar' Lalu, mengapa diskriminasi itu terjadi?
Salah satu yang berperan besar adalah pandangan umum yang menganggap orang Papua sering mabuk, suka melanggar peraturan, dan suka berkelahi. "Karena kenyataannya seperti itu," kata salah satu pemilik kost. Warga Yogyakarta lainnya, Sukma Indah Permana (28) mengaku kerap melihat orang Papua yang tidak patuh aturan lalu lintas, bahkan mereka kadang tiga orang naik motor tanpa memakai helm. "Aku sering lihat, loh," katanya.Â
Mereka mengakui tidak semua orang Papua seperti itu dan mengatakan banyak orang Papua berperilaku baik. Tetapi, ulah sebagian orang membuat stigma negatif menempel kuat. Seorang pemilik kos-kosan yang ditanya mengapa dia tidak mau menerima orang Papua mengatakan dirinya memiliki pengalaman buruk.
"Susah bayar, suka bikin gaduh suasana kos apalagi kalau pas mabuk," kata Nugroho (28), pengelola kos-kosan di Depok, Sleman. Sebagai pemilik bisnis, dia menginginkan pemasukan keuangan lancar dan tertib, sehingga mengaku "malas berususan dengan Papua karena tidak tertib dalam membayar". Perilaku segelintir orang Papua menjadi sebuah sterotipe di Yogyakarta, kata Aris Yeimo.Â
"Biasanya (yang suka mabuk) adalah anak muda Papua yang baru datang karena ada emosi (budaya) yang terbawa dari Papua," katanya. Orang Papua yang tinggal di tempat dingin seperti di pegunungan, kata Aris, biasanya butuh penghangat sehingga terbiasa minum produk lokal untuk menghangatkan - sehingga ketika berada di Yogyakarta, perlu waktu untuk beradaptasi.Â
"Tapi kalau bikin onar dan makan tidak mau membayar, itu hanya beberapa orang, tidak semua. Jadi jangan digeneralisir," imbuhnya. Â Kehadiran mahasiswa Papua di Yogyakarta membawa pemasukan ekonomi pada warga dan pemerintah daerah. Jadi selayaknya kami diberikan perlindungan dari perilaku diskriminasi.Â
Tidak perlu terpancing dengan isu-isu yang dibangun oleh pihak yang menginginkan kekacauan. Bangun kenyamanan bersama, karena kehadiran mahasiswa memberi sumbangsih ekonomi, di sisi lain Yogyakarta juga memberi sumbangsih pada pelajar Papua khususnya dalam bidang pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H