Mereka mengakui tidak semua orang Papua seperti itu dan mengatakan banyak orang Papua berperilaku baik. Tetapi, ulah sebagian orang membuat stigma negatif menempel kuat. Seorang pemilik kos-kosan yang ditanya mengapa dia tidak mau menerima orang Papua mengatakan dirinya memiliki pengalaman buruk.
"Susah bayar, suka bikin gaduh suasana kos apalagi kalau pas mabuk," kata Nugroho (28), pengelola kos-kosan di Depok, Sleman. Sebagai pemilik bisnis, dia menginginkan pemasukan keuangan lancar dan tertib, sehingga mengaku "malas berususan dengan Papua karena tidak tertib dalam membayar". Perilaku segelintir orang Papua menjadi sebuah sterotipe di Yogyakarta, kata Aris Yeimo.Â
"Biasanya (yang suka mabuk) adalah anak muda Papua yang baru datang karena ada emosi (budaya) yang terbawa dari Papua," katanya. Orang Papua yang tinggal di tempat dingin seperti di pegunungan, kata Aris, biasanya butuh penghangat sehingga terbiasa minum produk lokal untuk menghangatkan - sehingga ketika berada di Yogyakarta, perlu waktu untuk beradaptasi.Â
"Tapi kalau bikin onar dan makan tidak mau membayar, itu hanya beberapa orang, tidak semua. Jadi jangan digeneralisir," imbuhnya. Â Kehadiran mahasiswa Papua di Yogyakarta membawa pemasukan ekonomi pada warga dan pemerintah daerah. Jadi selayaknya kami diberikan perlindungan dari perilaku diskriminasi.Â
Tidak perlu terpancing dengan isu-isu yang dibangun oleh pihak yang menginginkan kekacauan. Bangun kenyamanan bersama, karena kehadiran mahasiswa memberi sumbangsih ekonomi, di sisi lain Yogyakarta juga memberi sumbangsih pada pelajar Papua khususnya dalam bidang pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H