Menteri Komunikasi dan Informasi, Johnny G Plate mengatakan bahwa sudah ada lebih dari 500 kasus hoax terkait virus Corona yang ditemukan di berbagai platform digital yaitu Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube. Tidak hanya itu penyebaran yang paling besar juga melalui aplikasi percakapan yaitu WhatsApp.Â
Menurut MAFINDO yaitu Masyarakat Anti Fitnah Indonesia bahwa Facebook menjadi media sosial yang paling sering digunakan untuk menyebarkan hoax. MAFINDO mengakui bahwa aplikasi yang paling sering digunakan untuk menyebarkan hoax adalah Facebook, Twitter, dan WhatsApp sedangkan untuk menggunakan media online tercatat hanya sedikit dan untuk media cetak tidak ada satupun.Â
Ada juga data dari MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia)Â dari hasil penelitian online mereka yang melibatkan lebih dari 1000 responden hasilnya adalah persentase hoax di media sosial ada 92,40% selain itu 62,8% responden mengakui menerima hoax melalui aplikasi pesan seperti LINE, WhatsApp atau Telegram. Sedangkan untuk penyebaran hoax melalui situs web hanya 34,9% lalu ada televisi 8,7% serta media cetak 5%. Dari data-data diatas dapat disimpulkan bahwa penyebaran hoax paling banyak melalui media sosial atau melalui aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp, LINE, dan Twitter.
Pemerintah memang tidak hanya diam saja melainkan mereka sudah membuat portal ataupun website layanan untuk mengecek fakta. Seperti dalam website Kominfo ada layanan di bagian publikasi yaitu laporan isu hoax, di situ masyarakat dapat melihat hoax hoax apa saja yang yang ada dan membacanya. Tidak hanya itu melainkan portal portal media berita lain seperti liputan6 juga menyediakan layanan situs cek fakta.Â
Adapun tren Fact Checking Journalism atau JPF (Jurnalisme Pemeriksaan Fakta) dalam jurnalisme digital. Dalam satu jurnal, tren ini muncul karena semakin maraknya hoax, misinformasi, dan disinformasi. JPF ini merupakan kolaborasi antara manusia dan mesin dalam praktek jurnalistik yang dimaksudkan adalah jurnalis adalah sebagai kreator ekosistem yang memiliki tugas untuk menciptakan narasi, mengikat kesimpulan suatu informasi, dan membangun navigasi bagi masyarakat. Lalu masyarakat sebagai pembaca, pengakses, sekaligus nilai yang akan membantu media menyimpulkan informasi. Sementara mesin digital menjadi perantara untuk penyampaian suatu hasil kesimpulan informasi yang diharapkan dapat membangun pemahaman yang sama antara jurnalis dan masyarakat(Nurlatifah, 2019).
Dengan adanya portal-portal serta aplikasi ini pun diharapkan akan dapat mengurangi hoax yang menyebar dan kekhawatiran serta tindakan yang salah mengambil keputusan karena mempercayai hoax. Namun yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan yang diharapkan.Â
Media sosial merupakan hal yang paling dekat dengan setiap individu. Hampir setiap individu memiliki media sosial atau berada dalam aplikasi media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter serta dalam aplikasi pesan singkat yaitu WhatsApp dan Line. Media sosial sangat sering berada di dalam genggaman bahkan menjadi suatu kebutuhan yang harus atau wajib untuk dikonsumsi setiap harinya. Banyak masyarakat yang mencari berita melalui media sosial sehingga menyampingkan untuk membaca portal berita, sehingga cara yang digunakan oleh media berita tersebut adalah ikut terjun dalam media sosial. Hampir semua media berita memiliki akun Instagram akun Twitter dan chanel YouTube. Media berita akan terus mendekati setiap audiens dengan cara apapun.Â
Berdasarkan fakta-fakta yang sudah dijabarkan di atas bahwa hoax paling banyak menyebar melalui media sosial dan aplikasi pesan singkat maka solusinya adalah setiap media sosial tersebut atau aplikasi pesan tersebut memberikan saringan atau fitur filter otomatis untuk menyaring berita hoax, namun yang dilakukan oleh pemerintah dan beberapa media berita adalah dengan menyediakan layanan cek fakta di website atau portal yang faktanya bahwa hoax sangat sedikit menyebar di website atau portal berita.Â
Memang terbantu tapi sangat tidak maksimal karena cara yang tidak efektif. Sangat bisa masyarakat mengecek fakta dari suatu berita dengan melaporkan isu hoax tersebut dalam layanan cek fakta. Namun berdasarkan apa yang di lapangan masyarakat kurang tertarik atau kurang terdorong untuk membuka suatu portal berita lalu pergi ke layanan cek fakta dan melaporkan berita tersebut. Belum lagi ditambah dengan waktu penungguan hasil berita tersebut yang cukup memakan waktu.Â
Melihat kurangnya literasi media di kalangan masyarakat menengah ke bawah dan kurangnya pemahaman teknologi oleh mereka. Sehingga dapat dilihat bahwa cara tersebut masih kurang efektif untuk mengurangi hoax yang sangat marak penyebarannya apalagi selama masa pandemi.Â
Selama masa pandemi banyak sekali masyarakat yang yang salah tanggap bahkan salah paham mengenai virus covid-19 sehingga berdampak pada perilaku dan tindakan yang mereka ambil. Salah satunya adalah penyebaran berita palsu atau hoax mengenai bahwa covid-19 hanyalah fiktif atau tidak ada. Dari hoax tersebut banyak sekali masyarakat yang langsung mempercayai hal tersebut dan menanggapinya dengan serius sehingga menyepelekan protokol kesehatan. Hal tersebut juga yang menjadi salah satu faktor bertambahnya kasus covid-19 19 di Indonesia.Â
Sangat disayangkan jika seluruh masyarakat mempercayai hoax karena hoax akan berdampak tidak hanya pada lingkungan kecil namun dalam suatu negara perubahan akan terlihat sangat besar. Tidak usah lihat kasus yang jauh, demo omnibus law yang terjadi belum lama ini juga terjadi karena adanya hoax mengenai undang-undang hak cipta kerja di kalangan masyarakat. Berdasarkan pengalaman pribadi bahwa berita yang memanas-manasi atau mengompori seseorang tersebar melalui  aplikasi pesan singkat yaitu WhatsApp dan Line.
Walaupun ada layanan cek fakta namun sangat sedikit kesadaran masyarakat untuk pergi ke portal cek fakta lalu melaporkan berita tersebut. Apa yang terjadi yaitu masyarakat gampang terpengaruh dan mempercayai hoax tersebut sehingga ikut turun ke jalan untuk melakukan demo tanpa mengetahui kebenaran. hal ini pun akan berdampak pada peningkatan kasus covid-19 dan beberapa kasus kekerasan karena ada beberapa kasus kericuhan saat demo di beberapa titik kota termasuk Yogyakarta.Â
Setelah hadirnya layanan cek fakta di portal berita kasus hoax sangat minim berkurang. Terlihat masih ada beberapa hoax yang sangat mudah tersebar melalui aplikasi pesan singkat dan media sosial.Â
Cek fakta yang dibutuhkan tidak hanya dalam suatu portal berita ataupun layanan portal kementerian pemerintah namun juga dalam suatu aplikasi pesan singkat. Solusi yang sangat dibutuhkan adalah fitur filter otomatis pesan hoax dalam setiap aplikasi pesan singkat dan media sosial seperti WhatsApp, LINE, Twitter, Facebook, dan Instagram.Â
Namun untuk hadirnya fitur tersebut memang membutuhkan orang-orang yang hebat serta orang-orang yang berkemauan tinggi untuk memberantas hoax. Mereka tidak ditunggangi oleh siapapun dibelakang mereka atau demi kepentingan satu atau beberapa pihak.selain itu juga dibutuhkan orang-orang yang memang ahli dalam bidang tersebut sehingga diharapkan dapat bekerja sama untuk membentuk atau menciptakan fitur filter otomatis pesan hoax tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H