Mengulas film "Ngenest" (2015) melalui sudut pandang genre wedding film membuat pengertian lebih akan toleransi antar budaya.
Genre romantis sedikit komedi merupakan satu dari banyak genre film yang ada, film "Ngenest" (2015) contohnya. Mampu merangkai hingga menjadikannya dalam sebuah film merupakan hal yang hebat karena cerita film benar-benar terjadi di kehidupan produser film ini.Â
Melihat kekhawatiran dan kegelisahan yang pernah di alami selama hidup Ernest Prakasa mengangkat isu diskriminasi ini lebih menonjol dengan caranya yang halus dan dapat diterima oleh penonton dengan mudah.
Ada beberapa aktor yang bermain yaitu Ernest Prakasa sebagai Ernest, Lala Karmela sebagai Meira atau istri Ernest, dan Budi Dalton sebagai ayah Meira, serta pemain film lainnya.
Petanyaan sekarang adalah apa yang dimaksud dengan genre wedding film? Genre ini muncul tahun 1950 dan meledak sekitaran tahun 2000-an dengan banyaknya muncul film dengan menggunakan judul kata "wedding".
Seperti film lainnya, terdapat peran utama, pesan penting yang ingin disampaikan film, perilaku yang ingin ditimbulkan setelah menonton film, begitupun dengan film ber-genre wedding film.
Pertama, biasanya mimpi indah anak perempuan merupakan mimpi buruk bagi seorang ayah. maksudnya adalah keinginan seorang anak perempuan  mengenai suatu al khusunya hal pasangan akan bertentangan dengan kriteria keinginan ayah.
Dalam film ini setelah Ernest mengajak nonton film Meira untuk pertama kalinya, Ernest langsung diharuskan bertemu dengan ayah Meira. Setelah pertemuan tersebut, ayah Meira mengetahui bahwa Ernest merupakan keturunan cina dan di samping itu ayah Meira memiliki pengalaman buruk terhadap orang cina sebelumnya sehingga membuatnya tidak merestui hubungan mereka karena ketakutannya.Â
Komedi muncul karena pandangan bahwa pernikahan merupakan hal yang terencana dan disepakati oleh keluarga, seperti pemilihan adat acara, warna, dan hal kecil seperti menu makanan. Dalam film ini pernikahan menjadi terlihat sangat melelahkan dan meriah karena pernikahan dibuat menjadi dua kali acara, yaitu dengan adat cina untuk keluarga laki-laki dan adat sunda untuk keluarga perempuan. Saat berpacaran, banyak hal romantis yang sangat dengan mudah untuk dilontarkan oleh keduanya.
Ke-empat, sindiran lucu yang terkadang benar terjadi di kenyataan, terkadang ada keluarga yang masing-masing anggotanya punya nilau buruk seperti seorang bapak kepala daerah yang sudah nyaman dengan segala kemudahan karna lebel jabatannya dan memiliki anak perempuan yang tidak bisa berperilaku dengan baik, tidak dapat menghargai teman sekelasnya hingga di keluarkan dari sekolah. Di sisi lain terdapat atlit pria muda yang memiliki ekonomi rendah sehingga membuatnya mau menikahi anak perempuan dari kepala daerah tersebut. Terlihat pernikahan ini seperti pelarian bagi perempuan dan keuntungan bagi si pria.Â
Jika dikaitkan dengan film Ngenest, sebenarnya tidak secara langsung Ernest menikahi Meira ingin mendapatkan keuntungan yaitu Ernest ingin memutus rantai keturunan cina dengan menikahi pribumi agar tidak mendapat bully dari siapapun.Â
Terkait dengan film, hal semacam politik ini tidak ada dalam cerita namun konflik budaya ada. Masing-masing orang tua mereka tidak memaksakan anak mereka untuk menikahi orang lain demi kepentingan politik. Konflik budaya yang terlihat adalah saat pesta pernikahan. Ernest yang tidak ingin adanya MC yang bernyanyi dengan bahasa mandarin dan orang tuanya yang memaksakan harus menggunakan MC berbahasa mandarin.
Berdasarkan film Ngenest, Meira melakukan berbagai cara untuk mendapatkan dirinya hamil dan memiliki anak yaitu kebahagiaannya mulai dari sabar, sindiran kalimat kecil, hingga pertengkaran hebat dengan Ernest. Ernest yang masih dalam ketakutan bahwa anaknya nanti akan di bully akhirnya menuruti keinginan Meira dan mendapatkan makna kebahagiaan tersendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H