Banyak orang saat ini sangat antusias untuk tampil, berbagi ide, dan mengekspresikan gaya serta perasaan mereka di media sosial. Namun, ada juga sebagian orang yang memilih untuk tidak mengikuti tren tersebut dan lebih suka mengunggah informasi pribadi serta menunjukkan keberadaan mereka di platform tersebut. Fenomena ini dikenal dengan istilah joy of missing out atau JOMO, yang berlawanan dengan ketakutan akan ketinggalan atau fear of missing out (FOMO).
Banyak di antara kita yang terjebak dalam perasaan FOMO, yang sebenarnya adalah usaha untuk mengikuti apa yang sedang tren. Kita sering memperhatikan apakah orang lain sedang berlibur, membeli rumah baru, mendapatkan mobil baru, atau mendapatkan pekerjaan baru, dan kita merasa ketinggalan jika tidak melakukan hal yang sama. Namun, yang perlu kita ingat adalah kita sebenarnya sedang mengejar keinginan orang lain, bukan keinginan kita sendiri.
FOMO adalah perasaan cemas yang muncul ketika seseorang merasa takut ketinggalan dalam berbagai aktivitas atau tidak mendapatkan informasi terbaru, seperti berita dan tren. Rasa cemas ini sering kali muncul karena anggapan bahwa orang lain tampak lebih bahagia, lebih menarik, dan lebih sukses, seolah-olah mereka memiliki kehidupan dan karier yang lebih baik. Siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin atau usia, bisa merasakan FOMO. Mereka yang mengalami perasaan ini sering kali merasa kurang puas dengan hidup mereka karena terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Pertanyaannya kemudian, apakah kita termasuk yang mengalami sensasi FOMO? Berikut ini diantara gejala FOMO: a) selalu mengecek gadget (ketika terbangun dari tidur, maupun sebelum tidur) seakan kehilangan berita. b) tidak memiliki empati terhadap lingkungan sosial (kehidupan nyatanya) lebih mengutamakan medsos yang berakibat keinginan pengakuan orang lain. c) selalu ingin tahu kehidupan orang lain. d) rasa keingintahuan isu-isu terbaru. e) berperilaku boros dalam hal keuangan agar tidak kehilangan situasi. f) selalu berkata "ya" meskipun tidak menginginkannya (Aisafitri, L., & Yusriyah, 2021)(Sari, A. P., Ilyas, A., & 105 Ifdil, 2017),(Mustika, D., Ridhani, A. R., & Farial, 2020)(Auliannisa, S., & Hatta, 2020). Hal serupa terjadi ketika rasa tidak ingin ketinggalan informasi dan menerima bujukan hal-hal yang kurang menarik.
Sedangkan Joy of missing out (JOMO) adalah sebuah sikap yang menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan; seseorang dapat menghargai hidupnya sendiri tanpa harus membandingkan dengan kehidupan orang lain. Mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang baik tidak merasa khawatir dengan informasi yang tidak relevan di media sosial, dan pada kenyataannya, mereka bisa merasa bahagia. Sikap ini mencerminkan karakter positif, di mana seseorang menemukan kedamaian dan kebahagiaan tanpa tekanan dari media sosial. Dalam tulisannya (Phelan, 2018) di Majalah The New York Times, ia menyatakan bahwa gaya hidup JOMO adalah gaya hidup yang seimbang, yang mampu memanfaatkan media sosial dengan cara yang positif dan bijaksana.
Menurut Svend Brinkmann, profesor psikologi Denmark dan penulis buku " The Joy of Missing Out: The Art of Self -- Restraint in an Age of Excess ", kehilangan sesuatu sebenarnya dapat membantu kita menemukan makna & kedalaman dalam hidup dan membantu kita menjadi lebih bahagia. JOMO memungkinkan kita untuk menggunakan waktu, perhatian, upaya, dan uang kita untuk hal-hal yang benar-benar penting, mengembangkan hubungan yang lebih sehat, memperoleh kesadaran diri yang lebih dalam, dan menjadi lebih produktif dalam hidup.
Teknologi yang terus berkembang saat ini, terutama di kalangan generasi milenial, telah mengubah gaya hidup kita, tetapi juga membawa beberapa efek negatif. Menurut Christopher Willard, PsyD., seorang psikolog dan konsultan pendidikan di Boston, dalam artikel situs Mindful , perangkat komunikasi yang kita miliki menciptakan kesan bahwa ada hal-hal yang lebih penting di luar sana dibandingkan dengan pengalaman yang kita alami saat ini. Pemikiran ini bisa membuat seseorang merasa perlu untuk menjauh dari media sosial. Daripada merayakan kehidupan sosial yang sering kali hanya ilusi, karena tidak semua orang benar-benar dekat di Twitter, Instagram, atau Facebook, mereka lebih memilih untuk menghargai momen-momen pribadi.
Dalam situs Psychology Today artikel Dr. Susan Biali M.D. menjelaskan bagaimana internet dan beragam hiburan yang ada memengaruhi produktivitasnya. Setelah membaca buku The Joy of Missing Out: Finding Balance in a Wired World oleh Christina Crook (2015), ia melakukan refleksi pribadi. Buku tersebut menyatakan bahwa kita hidup di zaman di mana kedekatan antar individu semakin berkurang, sementara pasivitas dan isolasi semakin meningkat. Banyak orang mengalami kesepian, dan perasaan cemas, lelah, serta ketergantungan pada teknologi yang sulit dipahami menjadi hal yang biasa terjadi.
Banyak orang introvert cenderung merasa lebih nyaman ketika menjauh dari keramaian, karena mereka bisa merasa kehabisan energi jika terlalu sering berada di tengah banyak orang. Namun, Dr. Travis Bradberry, penulis Emotional Intelligence 2.0, mengungkapkan bahwa orang ekstrovert juga kadang-kadang memerlukan waktu untuk sendiri, yang bisa memberikan keuntungan bagi mereka. Seperti halnya roda yang berputar, beberapa orang berusaha mengubah tren FOMO menjadi JOMO. Berbagai alasan muncul agar orang tidak terjebak dalam kesenangan kehidupan sosial di internet. Dalam laporan dari situs SWNS, orang Inggris lebih menikmati kesendirian daripada merasa takut tertinggal dalam kehidupan sosial. Sebuah studi menunjukkan bahwa 85% dari 2000 orang Inggris yang disurvei lebih senang menghabiskan waktu di rumah dan menghindari acara sosial, sementara hanya 43% yang merasa mengalami FOMO.
Baik FOMO maupun JOMO memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Meskipun FOMO sering dianggap negatif, sebenarnya ada sisi positifnya jika dikelola dengan baik. Seseorang yang mengalami FOMO bisa menyadari bahwa pencapaian orang lain adalah sesuatu yang baik. Jika ia berhenti sejenak untuk merenung, hal ini bisa menjadi pendorong untuk tetap produktif. Melihat orang lain meraih impian mereka bisa memotivasi dirinya untuk mengejar cita-citanya sendiri.
JOMO juga memiliki sisi positif, asalkan tidak berlarut-larut. Sangat baik jika seseorang bisa menghargai atau mensyukuri apa yang dimilikinya, tetapi tidak sampai menjadi apatis atau acuh tak acuh terhadap hidupnya. Di sisi lain, FOMO dapat berdampak negatif pada kesehatan mental karena membuat seseorang merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki dan lebih fokus pada kesenangan yang terlihat di media sosial.
Menurut Saya lebih memilih untuk fokus pada JOMO. Saya tidak terlalu memikirkan apa yang dilakukan orang lain. Jika ada yang berlibur atau menunjukkan gaya hidup menarik di media sosial, saya merasa senang untuk mereka. Namun, itu tidak membuat saya merasa cemas atau gelisah. Saya lebih memilih untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang ingin saya lakukan. Jika saya terus membandingkan diri dengan orang lain dan merasa takut kehilangan momen, itu hanya akan menghalangi saya untuk meraih tujuan dan potensi saya yang sebenarnya.