Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

No PE No TAX: Diskursus Penentuan Bentuk Usaha Tetap

4 April 2023   20:53 Diperbarui: 4 April 2023   21:04 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
No PE No Tax, dok. pribadi

OECD melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan merumuskan multilateral instument yang dapat diadopsi oleh negara yang berpartisipasi. Melalui unified approach ini akan disepakati dua pilar terkait bisnis digital. Pilar pertama mengenai alokasi hak pemajakan negara pasar atas penghasilan dari aktivitas bisnis dengan mempertimbangkan jumlah pengguna atau customer dan eksistensi kegiatan ekonomi signifikan (significant economic presence). Sedangkan pilar kedua mengenai penetapan tarif pajak efektif minimum untuk mengurangi kompetisi pajak.

Indonesia sendiri melalui UU Nomor 2 Tahun 2020 memberlakukan tiga jenis pajak transaksi digital, yaitu 1) PPN transaksi PMSE; 2) PPh Badan (redefinisi BUT); dan 3) Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Dari ketiga jenis pajak tersebut, yang saat ini sudah diimplementasikan hanya PPN transaksi PMSE. Sedangkan pajak penghasilan belum dapat dijalankan karena dikhawatirkan akan ada benturan dengan negara mitra P3B mengenai pendefinisian BUT.

Sebelumnya, pemerintah pernah menerbitkan PMK Nomor 35/PMK.03/2019 (PMK-35) tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. PMK-35 ini menegaskan lagi mengenai apa yang dimaksud dengan BUT dan juga kewajiban pendaftaran NPWP dan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sayangnya PMK ini hanya menjadi aturan pelaksanaan apa yang telah diatur sebelumnya di UU PPh dan UU KUP tanpa ada pengaturan baru terutama terkait definisi BUT.

Sampai saat ini konsensus global belum juga terjadi berkaitan dengan Pilar 1 dan Pilar 2. Menyelaraskan kepentingan masing-masing negara melalui perundingan multilateral antarotoritas pajak memang bukan hal yang mudah. Namun action ini terasa lambat karena semakin hari transaksi digital semakin berkembang pesat. Sedangkan pajak yang mengikutinya masih jauh tertinggal di belakang. Akan makin banyak basis pajak Indonesia yang tergerus karena memang Indonesia adalah negara berkembang yang menjadi negara pasar, bukan negara investor.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun