"Profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein."
OECD Model Convention Pasal 7 ayat (1) tersebut menjadi awal mengapa Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment (PE) menjadi hal penting dalam lingkup perpajakan internasional.
Laba suatu perusahaan hanya dapat dipajaki oleh negara domisili (negara asalnya) kecuali bila perusahaan tersebut menjalankan usaha di negara sumber melalui suatu BUT, barulah perusahaan tersebut dapat dipajaki oleh negara sumber.
Paham inilah yang juga diadopsi oleh Indonesia dalam tax treaty Indonesia dengan negara mitra. Bila pendefinisian BUT ini tidak jelas, akan ada banyak sengketa antarnegara mengenai siapa yang berhak memajaki suatu subjek pajak. Atau bisa jadi akan muncul pajak berganda. Untuk itu, selain diatur dalam tax treaty, ketentuan mengenai BUT juga diatur dalam domestic rule.
Di Indonesia, BUT dijelaskan dalam Undang-Undang PPh Pasal 2 ayat (5) sebagai bentuk usaha yang digunakan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) baik orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau badan yang tidak berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau berkegiatan di Indonesia. Secara jelas dalam pasal yang sama juga disebutkan positif list bentuk kehadiran fisik suatu BUT. Pada pasal yang sama dijelaskan pula bahwa perlakuan perpajakan BUT dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Namun bukan hanya itu, ada beberapa ketentuan lain berkaitan dengan kewajiban pajak penghasilan BUT yang perlu dicermati, seperti ketentuan branch profit tax dan objek pajak BUT (Pasal 5 ayat (1) UU PPh) antara lain:
- Penghasilan langsung kegiatan BUT
- Force of attraction: penghasilan kantor pusat dari kegiatan di Indonesia yang dilakukan oleh BUT
- Effectively connected: penghasilan kantor pusat yang berhubungan efektif dengan BUT.
No PE No Tax. Apakah masih relevan?
Berkembangnya teknologi mendorong pergeseran bentuk kegiatan ekonomi. Dari mereka yang bertemu untuk bertransaksi langsung, menjadi cukup bertemu dalam dunia maya, bahkan tidak saling mengetahui siapa penjual siapa pembeli. BUT yang mensyaratkan kehadiran fisik tentunya menjadi tidak relevan untuk transaksi ekonomi digital.
Beberapa pihak menilai, perlu adanya perluasan definisi dari BUT itu sendiri. Bayangkan saja, berapa banyak penghasilan yang didapatkan SPLN dari Indonesia melalui transaksi digital baik barang maupun jasa, namun otoritas pajak Indonesia tidak dapat memungut pajak penghasilan dari pendapatan tersebut.
Hal inilah yang menjadi perhatian bukan hanya otoritas pajak Indonesia, namun juga sebagian besar otoritas pajak di dunia terutama negara berkembang. Untuk itu, sejak tahun 2013 pembahasan ini sudah ramai diangkat di forum internasional.