Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menciptakan Level Playing Field Melalui Pemajakan Transaksi Digital

8 Maret 2023   00:04 Diperbarui: 8 Maret 2023   00:08 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kesetaraan atau keadilan menjadi isu yang terus membarengi perbincangan mengenai pajak. Mereka yang lebih beruntung, memiliki kemampuan finansial lebih dikenai pajak yang jauh lebih tinggi (pajak penghasilan) dari pada mereka yang kurang beruntung. 

Apakah ini adil?

Namun pandangan negara dan global saat ini, justru pajak yang akan mewujudkan keadilan dan kesetaraan. Yang beruntung diminta untuk berkorban lebih untuk kesejahteraan bersama dan membantu mereka yang kurang beruntung. Akhirnya pajak sendiri menjadikan keadilan sebagai salah satu asas pemungutannya.

Mari kita kesampingkan dulu perbincangan mengenai keadilan pajak. Mari kita simak ketentuan perpajakan untuk transaksi digital yang mana ditujukan untuk menciptakan level playing field di semua pelaku pasar.

Ekonomi digital sesunguhnya sudah muncul di era 1980-an. Ekonomi digital semakin berkembang pesat didukung oleh perkembagan internet dan jaringannya pada era Industri 4.0. Internet menghubungkan manusia dari segala penjuru dunia dan menghilangkan batas antarnegara. Cross boarder transaction menjadi hal yang lumrah dan biasa.

Bila dulu orang hanya bisa mendapatkan barang impor di toko retail, yang mana produk tersebut sebelumnya dimasukkan ke Indonesia melalui importir dalam jumlah besar, maka saat ini setiap orang bisa membeli dan mengimpor sendiri barang tersebut dalam jumlah kecil.

Perkembangan ini telah direspon oleh pemerintah dengan menetapkan threshold bea masuk dan PPN Impor yang lebih rendah. Yang mana impor-impor kecil (dengan batasan nilai tertentu) juga dikenakan pajak yang sama dengan impor barang dalam jumlah besar.

Untuk barang berwujud, pengawasan pajak mungkin terasa lebih mudah. Bagaimana dengan barang tidak berwujud atau jasa yang diperjualbelikan melalui sarana digital? Dan bagaimana bila melampaui batas negara?

Sekali lagi, pemerintah berusaha untuk menciptakan level playing field, antara transaksi digital dengan transaksi konvensional melalui pengaturan pajak dalam transaksi digital.

Sesungguhnya wacana untuk menerapkan pajak transaksi digital sudah muncul sejak tahun 2013 saat OECD mulai membahas Base Erosion and Profit Shifting. Pembahasan ini melahirkan BEPS Action Plan, salah satunya Action Plan 1: Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy.

Namun hingga 2019, pemerintah belum melakukan aksi apapun terkait dengan perpajakan transaksi digital. Hal ini dilakukan karena Indonesia masih menunggu konsensus global mengenai perpajakan transaksi digital.

Di tahun 2020, pandemi melanda, dan hal ini memaksa orang untuk terus menerus mengandalkan jaringan internet dalam melakukan segala aktivitasnya. Aktivitas dan transaksi konvensional dalam porsi yang cukup banyak bergeser menjadi aktivitas dan transaksi digital. Dampak pergeseran ini terlihat dari tutupnya toko-toko retail seperti Matahari, Centro, Giant, dan memunculkan raksasa digital baru, seperti Google, eBay, atau perusahaan digital domestik seperti Tokopedia, Gojek, Tiket.com, dan lain sebagainya.

Produk yang ditawarkan pada platform digital dirasa lebih terjangkau karena penjual tidak harus mengeluarkan biaya untuk sewa dan lain sebagainya. Begitupun bila pembeli memilih barang dari penjual kecil, tidak ada PPN yang dipungut, tidak seperti membeli barang di supermarket. Padahal penjual 'kecil' ini saat ditelusuri penjualannya, bisa saja mencapai omzet Rp4.8miliar dan seharusnya sudah bisa ditetapkan menjadi PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan wajib memungut PPN.

Atas dasar penciptaan level playing field inilah, pemerintah melalui DJP menerbitkan ketentuan pajak atas transaksi digital. Pajak disini berupa PPh dan PPN. UU Nomor 2 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 menjadi dasar pemungutan PPN PMSE.

Ketentuan ini memungkinkan pemerintah dalam hal ini DJP untuk menunjuk PMSE baik domestik maupun asing untuk memungut PPN, menyetorkan dan melaporkan pemungutan tersebut setiap triwulan.

Namun hal ini bukan tanpa kendala. Sampai dengan saat ini, pemungutan PPN PMSE ini bersifat voluntary compliance, sehingga sangat amat mengandalkan kesediaan PMSE untuk melaporkan pemungutan PPN tersebut. Disamping itu pengawasan yang akan dilakukan juga tidaklah mudah. Untuk memastikan berapa nilai sesungguhnya dari BKP/JKP yang dimanfaatkan di dalam negeri atau daerah pabean, bukan hal yang mudah. 

Pembeli dapat menggunaan VPN untuk mengecoh lokasi pemanfaatan barang/jasa. Dan lagi, ketentuan yang ada belum mengatur mengenai sanksi bila PMSE tidak melaksanakan kewajiban tersebut dengan benar, baik mendaftarkan diri bila sudah memenuhi syarat maupun memungut, menyetor, dan melaporkan PPN tersebut dengan benar.

Perlakuan Pemungutan PPN seperti ini sudah lebih dulu diterapkan di Eropa, dan menghasikan tingkat kepatuhan yang cukup rendah. Masih menjadi pe-er bagi pemerintah untuk membuat aturan tersebut menjadi lebih efektif.

Untuk PPh sendiri, berdasarkan PP Nomor 80 Tahun 2019 dan UU Nomor 2 Tahun 2020, bagi perusahaan asing yang memiliki kehadiran signifikan di Indonesia atau mendapatkan penghasilan yang signifikan dari perekonomian Indonesia, sebagian pajak penghasilannya akan dikenakan di Indonesia. Hal ini tentu berbenturan dengan tax treaty yang saat ini sudah terjalin antara otoritas pajak Indonesia dengan negara mitra.

Langkah ini diambil karena konsensus global melalui penyusunan Pillar 1 OECD belum juga disepakati. Namun karena resistensi negara lain terlalu tinggi, dan belum siapnya peraturan pelaksanaan mengenai hal ini, maka pemberlakuannya ditangguhkan sambil menunggu kesepakatan konsensus global.

Saat nantinya Pillar 1 ini disetujui, akan ada pengaturan yang lebih universal bagi negara-negara yang terlibat, dan tentunya hal ini akan diratifikasi oleh Indonesia. Akan ada penyesuaian kembali pada aturan perpajakan transaksi digital di Indonesia. Dinamisnya peraturan pajak akan cukup membingungkan bagi Wajib Pajak dan hal ini menyebabkan sentimen bahwa pemerintah khususnya otoritas pajak dianggap terlalu prematur namun lamban dalam merancang peraturan.

Jadi apakah level playing field ini sudah berhasil diciptakan? Sepertinya masih jauh dari harapan, namun sedikit demi sedikit usaha untuk menuju ke arah tersebut sudah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun