Pajak adalah kewajiban Warga Negara. Untuk memastikan kewajiban tersebut dilaksanakan, negara berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan perundangan. Kewenangan ini tentu bukan kewenangan yang semena-mena.
Semua ini didasari bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat). Teori Negara Rechstaat seperti yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).
Karena itu, perundangan mengamanatkan kewenangan negara atas pemungutan pajak. Perpajakan Indonesia menganut sistem self assessment, dimana Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang. Dampak dari adanya self assessment ini adalah adanya tindakan pengawasan dan penegakan hukum pajak. Saat pengawasan hingga penegakan hukum dilakukan, negara dimungkinkan untuk menerbitkan surat ketetapan. Salah satu surat ketetapan adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang menyebabkan Wajib Pajak memiliki utang pajak kepada negara.
Utang tersebut berupa pokok pajak dan sanksi. Saat kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka negara melaksanakan kewenangannya untuk melakukan penagihan pajak. Namun penagihan pajak akan terhenti sementara bila Wajib Pajak melakukan upaya hukum atas ketetapan tersebut. Saat nantinya ketetapan tersebut inkracht (berkekuatan hukum tetap), tindakan penagihan akan dilanjutkan.
Kembali lagi, karena Indonesia merupakan negara rechstaat, maka kewenangan penagihan pajak diatur melalui peraturan perundang-undangan. Salah satu payung hukum utama tindakan penagihan pajak adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 stdd UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP). Beberapa aturan pelaksanaan turunan selanjutnya terbit untuk memberikan pedoman terhadap proses penagihan di lapangan.
Salah satu aturan turunan dari UU PPSP tersebut adalah PMK Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. PMK ini diterbitkan dengan dilandasi pertimbangan bahwa pengaturan diperlukan untuk menjamin pemenuhan hak dan kewajiban penanggung pajak dan DJP, meningkatkan kemudahan, keseragaman, dan penyederhanaan tindakan penagihan, dan memberikan kepastian hukum.
Dalam salah satu pasal, disebutkan mengenai jenis dan langkah tindakan penagihan pajak, meliputi Surat Teguran, Surat Paksa, Penyitaan, Lelang, Pencegahan, Penyanderaan, dan Penagihan Seketika dan Sekaligus. Pasal ini mengatur juga mengenai jangka waktu dilakukannya tindakan penagihan.
Penagihan seketika dan sekaligus merupakan salah satu tindakan penagihan pajak oleh Jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran. Selain itu, penagihan seketika dan sekaligus ini dapat diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran atau Surat Paksa.
Tentunya penagihan seketika dan sekaligus ini hanya bisa dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti adanya
- Indikasi atau niat bahwa penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
- Pemindahtanganan barang yang dimiliki atau dikuasai penanggung pajak untuk menghalangi tindakan penagihan selanjutnya.
- Indikasi bahwa WP Badan akan dilakukan pembubaran, penggabungan, pemindahtanganan, atau perubahan lainnya, termasuk dibubarkan oleh negara.
- Penyitaan barang penanggung pajak oleh pihak lain.
- Indikasi pailit.
Lalu, benarkah negara mengedepankan keadilan? Apakah keadilan yang menjadi dasar negara dan asas pemungutan pajak benar-benar ditegakkan dalam penagihan pajak?
Saat pandemi Covid-19 datang melanda Indonesia dan seluruh bagian bumi lainnya, masyarakat mengalami kemandekan perekonomian. Namun di satu sisi pemerintah tetap harus melaksanakan kewenangannya dalam menagih utang pajak. Apakah ini berkeadilan?
Ada pula cerita bahwa selama ini Wajib Pajak tidak pernah menerima surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak apapun yang menyatakan adanya utang pajak. Tiba-tiba ia didatangi oleh Jurusita Pajak yang menyampaikan Surat Paksa. Padahal Surat Teguran pun tidak pernah ia dapatkan. Apakah ini berkeadilan?
Dalam konteks tata negara, Plato mendefinisikan keadilan sebagai the supreme virtue of the good state atau kebijakan tertinggi dari negara yang baik yang melibatkan emansipasi dan partisipasi warga negara dalam memberikan gagasan tentang kebaikan untuk negara.
Sedangkan Teori Keadilan Socrates merumuskan bahwa adil terjadi bila pemerintah dan rakyatnya saling pengertian dengan baik. Penguasa mematuhi ketentuan hukum dan pemimpin berlaku bijaksana. Keadilan tercipta bila masyarakat merasakan bahwa pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Teori Keadilan zaman modern yang disampaikan John Rawls salah satunya bercerita mengenai perbedaan sosial dan ekonomi yang hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang berkedudukan paling tak menguntungkan.
Bila dilihat dari dua pihak yang terlibat, penanggung pajak dan negara, negara memiliki posisi yang lebih tinggi dibanding Wajib Pajak dalam menagih utang pajak. Wajib Pajak menjadi pihak yang tidak menguntungkan. Untuk itu, keadilan menjadi isu penting, apakah kewenangan penagihan pajak benar-benar dilandaskan asas keadilan.
Dari segi fiskus, tindakan penagihan pajak, baik aktif maupun pasif seharusnya dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan ketelitian, terutama mengenai administrasi. Di masa pandemi, banyak surat tertulis yang tidak sampai kepada tuannya. Hal ini perlu dipertimbangkan sebelum Jurusita melakukan tindakan penagihan.
Pada praktiknya, bila fiskus melakukan penagihan pajak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Wajib Pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak. Dengan berlandaskan atas asas keadilan ini juga negara dapat memberikan penundaan atau pengurangan sanksi sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Beberapa penelitian juga telah dilakukan atas efektifitas tindakan penagihan pajak aktif dan kaitannya dengan keadilan. Beberapa hasil penelitian tersebut memberikan kritik perbaikan bagi administrasi penagihan Indonesia. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Sujianto (2021) yang merekomendasikan adanya perubahan ketentuan terakit pihak-pihak yang dapat disandera (gijzeling) untuk memberikan rasa keadilan.
Manurung et al (2022) berdasarkan penelitiannya menyarankan agar DJP atau fiskus lebih selektif dan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku agar prinsip keadilan tetap terjaga dan mengurangi risiko gugatan yang diajukan oleh penanggung pajak.
Sarwini (2014) menyatakan bahwa tahap-tahap penagihan pajak perlu dilakukan secara persuasif karena sebagaimana pendapat para ahli perpajakn, sesungguhnya pajak merupakan pengalihan kekayaan rakyat pada negara yang digunakan untuk membiayai belanja negara dan hasilnya pun digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Lebih jauh Sarwini juga berpendapat bahwa tahapan penagihan pajak menggambarkan bahwa mekanisme penagihan pajak ini lebih mendahulukan prinsip restorative justice daripada retributive justice. Bila Wajib Pajak tidak menyetujui jumlah pajak yang ditagih atau tindakan penagihan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan kebetaran atau upaya gugatan. Penagihan pajak sesungguhnya mengutamakan cara uang pajak masuk ke kas negara sebagaimanamestinya dibandingkan dengan penerapan sanksi (retributif).
Menurut Jaya dan Supriyadi (2021), proses penagihan pajak yang tetap berjalan di masa pandemi menjadi kontradiktif dengan prinsip keadilan. Tindakan penagihan memungkinkan banyak usaha gulung tikar karena harus melunasi seluruh tunggakan pajak. Pelaksanaan penagihan pajak selama pandemi yang mana tidak ada insentif agaknya juga kontradiktif dengan kebijakan insentif pajak yang diluncurkan pemerintah.
Tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tentunya diusahakan untuk dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fiskus atau DJP akan berusaha untuk melakukan langkah penagihan sesuai dengan prosedur yang ada agar asas keadilan dapat dirasakan oleh penanggung pajak.
Bila Wajib Pajak atau penanggung pajak mempertanyakan mengenai keadilan dalam penagihan pajak, perlu dilihat kembali hakikat dari utang pajak dan kewajiban warga negara atas pajak tersebut. Karena pada dasarnya pajak sendiri merupakan wujud keadilan dalam bernegara. Tindakan penagihan pajak juga merupakan perwujudan penegakan keadilan atas hak yang seharusnya diterima rakyat lain melalui negara. Dengan adanya penagihan pajak, negara menegakkan prinsip bahwa semua warga negara memiliki kewajiban perpajakan yang sama dan adil.
Peraturan perudangan ada untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan, bukan hanya bagi warganya namun juga bagi negara.
Ref:
Jaya, I. M. A. S., & Supriyadi, S. (2021). Efektivitas Pelaksanaan Penagihan Pajak Di Kpp Pratama Denpasar Barat Pada Masa Pandemi Covid-19 . Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review), 5(2), 114--123. https://doi.org/10.31092/jpi.v5i2.1396
Manurung, Gidion & Rahman, Hafidz & Lestari, Lisa & Irawan, Ferry. (2022). Problematika Tindakan Penyanderaan Sebagai Salah Satu Upaya Penagihan Pajak Di Indonesia. Akuntansiku. 1. 53-63. 10.54957/akuntansiku.v1i1.173.
Sarwini. (2014). Implementasi Restorative Justice dalam Penegakan Hukum Pajak. Yuridika, 29 (3), 380-396. http://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/view/378/212
Sujianto, J. (2021). Pertanggungjawaban Penyanderaan (Gijzeling) Terhadap Penanggung Pajak. Perspektif, 26(2), 88. https://doi.org/10.30742/perspektif.v26i2.655.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H