Â
Terorisme saat pandemi semakin merajalela, Indonesia salah apa ?
Pandemi covid-19 menyebabkan berbagai permasalahan, salah satunya adalah kesenjangan ekonomi, yang akhirnya menyebabkan sebagian orang yang beraliran radikal memanfaatkan momen pandemic untuk melakukan aksi terorisme. Sebuah pernyataan mengejutkan disampaikan oleh PBB melalui perwakilannya Voronkov, ia menyatakan jika selama pandemi covid-19 para pelaku kejahatan terorisme selalu mamanfaatkan segala celah yang ada untuk melakukan aktivitas teror.[7] Voronkov juga menegaskan jika para pelaku kejahatan terorisme bisa sangat cepat untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada. Selain itu mereka akan melakukan eksploitasi terhadap sosial media dan berbagai macam tekhnologi baru, setelah itu mereka menghubungkannya dengan tokoh kejahatan secara terorganisir untuk menemukan kesenjangan baik itu dari segi regulasi, teknis maupun manusia dari sebuah negara.Â
Selanjutnya, terjadinya terorisme saat pandemic tentu saja membuktikan jika penanganan terorisme di Indonesia masih sangat lemah. Menurut Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesia Institute ada tiga hal yang menyebabkan kelompok-kelompok radikalisme masih saja terus tumbuh dan berkembang[8]. Pertama adalah  tidak ada sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah untuk mencegah serta menggulangi perkembangan radikalisme. Seperti yang kita ketahui bersama jika penanggulangan radikalisme lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat, padahal kelompok terorisme sendiri terbentuk secara kolektif dan berasal dari daerah yang kemudian menjadi kelompok besar dan melakukan penyerangan serta terror secar brutal dan keji di tempat yang mereka kehendaki. Namun, dalam realitasnya banyak kepala daerah yang masih belum memprioritaskan program deradikalisme dalam program pembangunan daerahnya. Seharusnya, kepala daerah menyadari jika persoalan radikalisme terus saja dibiarkan tanpa ada program yang baik dan jelas untuk menanganinya maka ujungnya adalah ketentraman dan keamanan masyarakat di daerah tersebut akan terganggu.Â
Kedua adalah, penegakan hukum serta penanganan persoalan yang berkaitan dengan latar belakang agama dinilai kurang tegas. Kita ketahui bersama jika agama islam adalah agama mayoritas yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Selama ini pemerintah Indonesia selalu menindak tegas ketika ada pelanggaran intoleransi terhadap kaum minoritas, namun tidak tegas dalam menindak kelompok yang diduga menyebarkan pemahaman radikal. Terjadinya tragedi bom bunuh diri di gereja Katedral merupakan bukti nyata jika penindakan serta penegakan hukum yang berkaitan dengan penyebaran radikalisme hanya sekedar saja tanpa menimbukan efek jera.
Terakhir namun tak kalah menjadi urgensi adalah implementasi pendidikan multicultural di Indonesia masih sangat lemah. Komposisi penduduk Indonesia yang heterogen seharusnya diikuti dengan perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat berbagai hal. Namun sayangnya hal ini belum terlaksana dengan baik, sehingga mengkibatkan penyebaran paham radikal menjadi tumbuh sumbur yang disebabkan karena sempitnya wawasan serta pandangan pemikiran yang cenderung tekstualis. Akhirnya pemikiran ini akan terideologisasi dengan berbagai refenrensi otoritas keagamaan yang bersifat hegemonistik. Bahkan saat ini pemahaman radikal telah masuk ke ruang-ruang pendidikan di Indonesia sehingga mengancam generasi muda bangsa.
Â
KesimpulanÂ
Adanya keterkaitan perempuan Indonesia dalam aktivitas terorisme yang mengancam nyawa dan kedaulatan bangsa tentu saja dilatarbelakangi oleh berbagai hal seperti adanya kepribadian narsistik, fanatic, religius dan psikopatologi. Selain karena faktor kepribadian bergabungnya perempuan dalam lingkaran terorisme juga disebabkan karena adanya anggota keluarga yang memiliki kontak erat dengan aktivitas terorisme, dan juga seorang perempuan bergabung dalam terorisme merupakan sebuah penolakan dengan adanya pandangan umum terahadap perempuan yang berkembang selama ini.
Terjadinya pandemic covid-19 seolah menjadi penyebab tambahan bagi seseorang untuk melaksanakan aksi terorisme sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah, karena dianngap tidak mampu untuk mengelola negara. Selain itu, lemahnya penanganan serta tindakan hukum yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku akhirnya membuat benih-benih terorisme terus bermunculan sehingga membuat keamanan serta kedaulatan negara menjadi terancam. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi serta peningkatkan kualitas aparat agar mampu memberantas kelompok-kelompok yang diduga menyebarkan paham radikalisme tanpa melihat latar belakang agama apa pun serta yang terakhir adalah pemerintah pusat dan daerah harus mampu untuk bersinergi bersama guna memberantas serta meminimalisir munculnya gerakan radikalis dari tingkat terkecil sampai tingkatan daerah (1636 words)
DAFTAR PUSTAKA
- Musfia, Wilda N. 2017. Peran Perempuan Dalam Jaringan Terorisme ISIS di Indonesia. Journal of International Relations, Volume 3, Nomor 4, Tahun 2017, hal. 174-180
- Victoroff, J. 2005 . The Mind Of The Terrorist: A Review and Critique of Psychological Approaches. The Journal of Conflict Resolution, 3 - 42.Â
- Hudson, R. A. (1999). The Sociology and Psychology of Terrorism : Who Becomes A Terroris and Why? Washington: Library of CongressÂ
- Rezkisari, I. 2021. Bom Makassar Bukti Resep Penanggulangan Terorisme Melempem. Diakses pada 10 April 2021
- Purbolaksono, A. 2015. Radikalisme dan Lemahnya Pemerintah.
- https://www.theindonesianinstitute.com/radikalisme-dan-lemahnya-peran-pemerintah/. Diakses pada 10 April 2021
- Agustin, D. 2021. PBB Peringatkan Teroris Eksploitasi Pandemi. Diakses pada 10 April 2021
- MetroTV News. Com. 2021. Polri Ungkap Identitas Pelaku Penyerangan Mabes Polri. Diakses pada tanggal 8 April 2021
- Dirgantara, A. 2021. Ini Identitas Pelaku Bom Bunuh Diri di Makassar. Diakses pada tanggal 8 April 2021
- Qoria'ah Maesarotul, S. 2019. Keterlibatan Perempuan dalam Aksi Terorisme di Indonesia. SAWWA: Jurnal Studi Gender -- Vol 14, No 1 (2019): 31-46Â