Perempuan dan Terorisme
Sebuah ledakan bom bunuh diri tiba-tiba terjadi di kota Makassar, tepatnya di gereja Katedral Makassar pada tanggal 28 Maret 2021. Ledakan bom bunuh diri ini meyebabkan 20 korban luka yang akhirnya dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan. Serangan bom bunuh diri ini dilakukan oleh seorang laki-laki yang berinisial L dan seorang perempuan yang berinisial YSF. Menurut keterangan dari Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono kedua pelaku merupakan pasangan suami istri yang baru menikah selama enam bulan. Dua hari setelah kejadian bom bunuh diri di Makassar tepatnya tanggal 31 Maret 2021 terjadi sebuah aksi terror di Mabes Polri yang dilakukan oleh seorang perempuan bercadar berinisial ZA. Kapolri Jendral Listyo Sigit menyatakan jika pelaku melaksanakan aksinya secara lone wolf dan dilakukan secara tunggal. Pelaku juga membawa senjata jenis airgun karbon dioksida. Jika kita merefleksikan dua kejadian diatas maka dapat ditarik sebuah persamaan, dimana ada peran seorang perempuan dalam lingkaran terorisme.Â
Terorisme sendiri merupakan sebuah perilaku keji yang menyentak nilai-nilai kemanusiaan. Kejahatan terorisme yang mengatasnamakan nilai nilai keagamaan tersebut, selain bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan secara jelas juga mengingkari nilai-nilai demokrasi yang telah diterapkan Indonesia. Namun, hal yang sangat mengejutkan adalah praktik terorisme yang sangat erat kaitannya dengan kekerasan dan kekejian tersebut tidak lagi di dominasi laki-laki saja, namun terdapat keterlibatan kaum perempuan dalam tindak pidana  yang menjadi sorotan spesialisasi tatanan hukum di Indonesia ini. Selain dua kasus diatas jika kita berkaca pada kejadian-kejadian terorisme dalam kurun waktu 10 atau 12 tahun kebelakang, maka akan banyak sekali ditemukan perempuan-perempuan indonesia yang menjadi pelaku kejahatan terorisme bagi negara mereka sendiri. Salah satu diantara mereka seperti Putri Munawaroh, yang menyembunyikan pelaku terorisme dalam kasus peledakan bom bunuh diri di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton jilid 2 pada tahun 2009. Keterlibatan perempuan dalam kejahatan terorisme secara langsung telah menimbulkan kecemasan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bahkan disebutkan jika kasus keterlibatan perempuan dalam dunia terorisme disebut sebagai salah satu sejarah baru.
Perempuan adalah sosok yang dikenal memiliki sifat lembut dan penyayang. Pandangan perempuan yang digambarkan sebagai makhluk yang lembut dan mempunyai rasa cinta kasih seketika langsung berubah ketika teroris melibatkan mereka secara langsung dalam aksi brutal yang mengancam nyawa. Namun bisa saja  bergabung dalam gerakan teroris merupakan salah satu bentuk perlawanan dan ketidaksetujuan akan adanya sterotype gender yang seringkali disematkan kepada perempuan. Adanya isu-isu ketidaksetaraan yang terus menaungi perempuan sebagai makhluk yang telaten, lemah lembut, tidak berdaya, dan tidak mempunyai keberanian, menjadi berubah ketika perempuan ikut dalam aksi terorisme, karena dengan mengikuti aktivitas terorisme mereka telah dianggap memperjuangkan agama, umat dan akidah dengan hadiah iming-iming surga.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nesa Wilda Musfia, dari Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Dipenogoro mengungkapkan sebuah fakta yang mengejutkan.[3] Dimana,para perempuan Indonesia telah terlibat secara aktif dalam aktivitas teroris jaringan ISIS sejak tahun 2015. Hal ini diklaim merupakan sebuah siasat baru yang digunakan oleh jaringan ini. salah satu buktinya adalah adanya dukungan personal yang diberikan oleh Ratna Nirmala yang merupakan seorang simpatisan ISIS dari Indonesia. Ratna berpindah dari Indonesia menuju Suriah bersama suami dan anaknya untuk mendukung berdirinya Daulah Islamiyah. Jika dilihat dari sudut pandang tipologi peran dalam kelompok teroris, berdasarkan pendapat Victoroff (2005) maka posisi ratna berada pada tingkat followers sebagai sympathizer.Â
Walaupun begitu, peran perempuan dalam aktivitas terorisme tidak hanya sebagai simpatisan saja, namun ada banyak perempuan Indonesia yang menjadi pendukung langsung dalam terorisme namun tidak  menjadi pelaku bom bunuh diri. Contohnya seperti Tini Susanti yang merupakan istri dari tersangka kejahatan terorisme Ali Kalora yang merupakan salah satu pimpinan dari kelompok MIT. Tini Susanti terlibat dalam proses pelatihan di Gunung Biru.. Namun yang paling memprihatinkan adalah ketika sosok perempuan ditempatkan sebagai martir pelaksanaan bom bunuh diri. Posisi pengantin bom bunuh diri adalah posisi khusus yang sangat penting, namun dengan resiko yang sangat mematikan. Tidak main-main pelaku bom bunuh diri akan menjadikan tubuh mereka sebagai tempat peledakan bom sehingga tubuh mereka akan hancur disebabkan oleh ledakan bom. Dua kasus yang terjadi dalam peristiwa bom bunuh diri Makassar dan penyerangan Mabes Polri menjadi bukti nyata jika propaganda terorisme tidak hanya mengarah pada kaum laki-laki saja namun juga perempuan.
Â
Perempuan dalam Pusaran Teroris , Kenapa Bisa?
      Bergabungnya perempuan dalam jaringan terorisme yang dikenal keji dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, menimbulkan munculnya pertanyaan, kenapa perempuan sampai bisa tergabung dengan aktitas terorisme padahal aktivitas terorisme benar-benar berbahaya dan memiliki resiko yang sangat tinggi. Menurut, Hudson (1999), banyak sebab  yang melatarbelakangi seseorang untuk bergabung dalam aktivitas terorisme[5]. Salah satunya adalah adanya peran keluarga maupun kerabat yang memiliki kontak erat dengan aktivitas terorisme. Pada kasus ini dicontohkan oleh Tini Amalia dan Umi Delima yang bergabung dalam aktivitas terorisme karena suami mereka sudah terlibat terlebih dahulu dalam kegiatan terorisme ini.Â
      Selanjutnya, selain karena pengaruh kerabat dan keluarga yang memiliki kontak erat dengan terorisme, bergabungnya seorang perempuan dalam aktivitas terorisme juga disebabkan adanya propaganda radikalisme melalui media sosial. Pengaruh globalisasi memang sangat berpengaruh dalam kasus ini. Dian Yulia Novi merupakan perempuan Indonesia yang bergabung dalam jaringan ISIS melalui media sosial yang kemudian menghubungkannya dengan anggota ISIS lainnya. Selain itu menurut Hudson (1999), bergabungnya seseorang dalam jaringan terorisme juga disebabkan oleh adanya kepribadian narsistik, fanatic religius, pembangkang, dan psikopatologi[6]. Mereka yang memiliki kepribadian tersebut cenderung melegitimasi perilaku kekerasan sebagai bentuk justifikasi atas kebenaran yang diyakini oleh mereka. Keyakinan terhadap agama serta hukum islam menjadikan mereka sebagai pembelot yang menentang aparat kemanan padahal, agama islam sendiri tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berbuat keji dan munkar terhadap makhluk ciptaan Allah SWT. Tidak hanya itu seseorang yang memiliki kepribadian seperti ini cenderung menilai seseorang hanya berdasarkan sudut pandang serta persepektif mereka saja, sehingga mereka seringkali melakukan tidakan yang merugikan orang lain dengan dalih jihad tanpa didasari alasan yang rasional.Â
      Perempuan yang bergabung dalam aktivitas terorisme, dapat berasal dari keluarga yang memiliki masa lalu yang berkaitan dengan perang. Perang yang terjadi mengakibatkan orang-orag tersayang mereka harus terbunuh dan meyebabkan kehilangan yang mendalam. Secara universal adanya pengalaman dan masa lalu yang berkaitan dengan perang dapat dilakukan kembali dan diimplementasikan lewat rasa empati para teroris terhadap kaum muslim yang berada dalam negara berkonflik. Mereka merasa penderitaan yang dihadapi oleh saudara-saudara muslim akan berakhir dengan munculnya rasa kesadaran untuk berjuang dengan melakukan balas dendam yang didukung dengan semangat yang menggebu-gebu.