Mohon tunggu...
Mifta Khusnul Khotimah
Mifta Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku Mifta, hobiku membuat cerpen. "Terus mencoba, kalau gagal ya coba lagi."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf Tuhan, Aku Hampir Menyerah

26 Oktober 2023   22:50 Diperbarui: 26 Oktober 2023   23:00 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rintik hujan membasahi tanah di Bumi yang mulai gersang. Aroma hujan yang begitu khas, mampu membuat siapa saja yang menyukainya menjadi tenang. Suara rintikan hujan yang begitu deras, bagai alunan melodi pengantar tidur. Memberi rasa nyaman bagi jiwa yang lelah. Hujan di malam hari adalah suatu kombinasi yang bagus bagi pecinta hujan dan malam. Aku, contohnya.

Aku adalah pecinta langit malam dan hujan, tapi aku tidak suka suara gemuruh petir. Bagiku, cukup kepalaku saja yang berisik, tidak ingin ditambah suara petir yang semakin membuatku kacau. Ini adalah aku, orang yang dulunya selalu bertanya tentang rasanya mati. Seperti apa rasanya mati? Apakah semua beban yang aku bawa akan menjadi ringan atau justru bertambah berat?

Konyol. Bagaimana bisa, seorang anak remaja berpikiran seperti itu? Aku pun tidak tahu, setan mana yang sudah memporak-porandakan isi kepala dari anak remaja ini. Beban sebesar apa yang dipikulnya, sampai punya pikiran seperti itu. Aku, anak remaja yang masih labil saat itu. Anak remaja yang sudah memasuki tahap kedewasaan yang terlalu cepat. Sebut saja, dewasa sebelum waktunya.

"Membuat barcode di tangan itu menyenangkan, apa semenyenangkan itu ya, Shi?" tanyaku pada teman sebangku kala itu.

"Nggak ada rasa senang jika itu melukai," jawab Arshi atas pertanyaan acakku.

"Aku ingin mencobanya. Sebaiknya di kanan atau kiri?" tanyaku lagi, kali ini aku merasakan hawa tidak mengenakkan dari Arshi.

"Jika kamu mau coba, aku pastikan, kamu mengalami patah tulang setelah pulang sekolah," jawab Arshi.

Semenjak itu, aku tidak pernah membahas hal yang aku rasa, akan membuat Arshi marah. Yang aku bahas adalah cerita random lucu yang aku pastikan dapat diterima semua. Entah sesuatu yang pernah aku alami atau rekayasa yang aku buat sedramatis mungkin. Lucu, itulah aku. Terlalu malas untuk menceritakan cerita penuh tinta hitam yang ada di hidupku. Tinta ini terlalu hitam jika aku torehkan diatas tisu. Aku sangat yakin jika tinta yang aku gunakan dapat mengubah warna cantik yang sudah ada.

Tuhan, aku hanya bisa menceritakan kisah tinta hitamku hanya padamu. Karena tidak ada yang mampu menerima pekatnya tinta ini selain Tuhan. Jika boleh, hanya jika, pulang sendiri tanpa undangan itu diperbolehkan, sudah lama sekali aku memilih untuk pulang. Sayangnya, Tuhan tidak menyukai itu. 

Malam itu, hujan badai terjadi begitu hebat. Rasanya, seperti penyambut rasa gelisah yang aku rasa. Rasa yang sangat ingin aku buang, tapi tidak bisa karena ini adalah rasa yang wajar bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Menyebalkan, itu sudah pasti. Aku ingin sekali berteriak sekeras mungkin, melepas segala rasa yang aku punya. Aku juga ingin menangis, menangis dengan kencang sampai aku tertidur dan melupakan rasa sakit yang menjalar.

Boleh aku bercerita? Sesekali aku ingin bercerita dari hati ke hati, ingin didengar tanpa adanya pembanding. Tapi aku harus bercerita pada siapa? Tuhan? Aku sering bercerita pada Tuhan. Tuhan tidak akan pernah bosan mendengar cerita dari hambanya, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun