Tuhan, aku hanyalah seseorang yang masih berjiwa anak kecil. Anak kecil yang dipaksa untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Aku hanyalah anak kecil yang haus kasih sayang dan perhatian. Anak kecil yang masih ingin bermain. Anak kecil yang selalu menolak tidur siang. Aku hanya anak kecil, bahkan aku pun tidak tahu seberapa sifat kekanak-kanakan yang harus aku kubur.Â
Aku lelah. Aku sudah tidur sepuas yang aku bisa, tapi aku masih lelah. Aku ingin sembuh, tapi aku tidak sakit. Aku ingin menangis dan berteriak, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Sial, seberapa dalam lukamu, hati? Seberapa banyak luka yang aku ciptakan padamu, hati? Bodoh, aku selalu saja tanpa atau dengan sengaja melukainya.
Mungkin pilihan terbaik selain cerita pada Tuhan, adalah bercerita pada gelapnya langit malam. Langit malam yang menjadi perantara cerita, yang selalu setia mendengar. Mungkin kalau langit itu berwujud manusia, dia akan berkata, "Sudahlah, aku bosan dengan cerita hidupmu yang isinya seputar kematian. Sesekali aku ingin mendengar cerita yang menyenangkan." Seperti itu kira-kira jika dibayangkan. Bercerita sambil memeluk diri sendiri dan selalu berkata, "Semangat untukku, terima kasih untuk diriku yang sudah mau bertahan sampai sejauh ini, aku bangga dan bahagia selalu untuk jiwaku." Kata-kata yang pernah aku dengar dari seseorang dan selalu aku pakai untuk sekedar penyemangat diri.Â
"Shi, kalau aku mati, kira-kira ada yang sedih nggak ya?" Lagi, aku bertanya hal acak yang membuat temanku itu kesal.
"Bisa nggak? Sekali saja, jangan bahas kematian? Aku nggak tau seberat apa beban yang kamu pikul, selelah apa kamu sama duniamu. Tolong! Tolong untuk nggak bahas tentang kematian, yang kamu sendiri nggak tau kapan akan terjadi. Jika kamu punya masalah atau kesedihan, cerita sama aku. Aku siap jadi pendengar yang baik. Aku siap kasih solusi terbaik buat kamu, jika kamu mau. Jadi, tolong berhenti bahas kematian apalagi berencana," jawab Arshi dengan intonasi yang terkadang naik turun, menyeimbangkan emosinya.
"Maaf. Aku. Aku sudah cukup lelah. Kepalaku berisik, Shi. Terlalu ramai, aku nggak suka keramaian, tapi aku juga nggak suka kesepian. Aku seperti masalah yang selalu membuat orang lain susah. Pada akhirnya, aku nggak layak untuk hidup," ujarku sambil menunduk.
"Ingat ini ya. Jangan buru-buru untuk pulang, jangan nekat pulang sendiri, jangan sok mandiri dan tidak mau dijemput. Kamu masih layak untuk tinggal di Bumi, hadirmu masih dibutuhkan disini, peranmu masih ada. Barangkali ada di sudut tempat-tempat tertentu dan seseorang yang masih membutuhkan kehadiranmu."
"Aku juga ingin bahagia, dan bagaimana jika itu juga gagal?"
"Jika kamu tidak bahagia sekarang, artinya bahagiamu masih menunggu di masa depan. Setiap orang pasti menemukan bahagianya masing-masing ketika sudah waktunya. Mustahil Tuhan membawamu sejauh ini hanya untuk gagal. Jika pun kamu gagal, coba lebih berusaha lagi. Sampai Tuhan berkata, waktunya kamu untuk pulang."
Setelah obrolan waktu itu dengan Arshi, aku termenung dengan semua jawaban yang dia berikan. Aku sadar, selama ini aku salah dan mudah menyerah, terkadang juga suka menyalahkan kehendak takdir. Sekarang, aku ingin memulai lembar baru. Tidak apa-apa jika aku tidak bisa bahagia sekarang, karena aku yakin, Tuhan sudah menyiapkan bahagia untukku yang luar biasa.
Maaf Tuhan, aku hampir menyerah dengan ujian yang diberikan.