Mohon tunggu...
Miftakhul Shodikin
Miftakhul Shodikin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Kenapa kamu hidup ?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sanggar Pasir - FILOSOFI KETUPAT

21 Mei 2021   03:47 Diperbarui: 21 Mei 2021   04:28 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah Ketupat (Hindu-Buddha sampai Islam)

Ketupat atau kupat merupakan makanan khas Nusantara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa, lontar atau janur berbentuk persegi empat. Dalam hidanganya kupat tidak sendiri melainkan ditemani dengan Lepet. Lepet adalah makanan dari beras ketan acap kali dicampur dengan kacang, dimasak dalam santan kemudian dibungkus dengan janur atau lontar. Dalam lintasan sejarah kedua makanan tersebut sudah ada sejak era Hindu-Buddha di Nusantara. 

Di masa era Hindu-Buddha terkenal dengan ajaran tentang Lingga dan Yoni. Bahwa ajaran itu memberikan kita pesan-pesan kehidupan. Yoni sebagai representasi dari seorang perempuan yang disimbolkan dengan Ketupat sedangkan Lingga merupakan representasi dari seorang laki-laki yang disimbolkan dengan Lepet.

Kedua simbol itulah (Ketupat dan Lepet) mengingatkan kita  tentang awal kehidupan kita sebagai manusia di dunia ini. dalam perkembangan kehidupan di bumi Nusantara, Ketika Islam masuk di Bumi Nusantara dengan segera membuat akulturasi budaya sehingga memanfaatkan ketupat dan lepet untuk menyingkirkan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan syariat islam diganti dengan tradisi yang mengikuti syariat islam. 

Masuknya Islam juga memengaruhi pemaknaan dari Ketupat dan Lepet tersebut. Dalam ajaran Islam Ketupat dan Lepet dipandang sebagai nilai yang sama dengan rukun Islam yakni disimbolkan dengan empat sisi ketupat (Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat) dan Lepet merupakan bonus dari Tuhan untuk dapat menyantap ibadah Haji. Ketupat di era islam dikenal dengan lebaran kupat yang dilaksanakan 6 hari setelah Hari Raya Idul Fitri dengan pemaknaan Kupat sebagai Laku papat yakni Lebaran bermakna hari raya, Luberan bermakna melebur, Leburan bermakna habis atau saling mengahabiskan dosa dan Laburan bermakna labur atau kapur artinya memutihkan atau menjernihkan.

A. Berbagai Makna Ketupat

1. Makna Ketupat dari Jawa

Ngudar Roso Mulat Sariro ­­­– Mengungkap Isi Hati dan Mawas Diri.

Ketika ketupat sudah dibelah tandanya hati telah terbuka untuk mengungkapkan keluh kesah (Ngudar Roso). Namun tidak boleh kita dalam berkehidupan selalu dalam keadaan yang terbuka dan blak-blakan sehingga mampu untuk dimasuki siapa saja. Dalam ajaran Jawa Ketupat walaupun sudah dibelah tetap kita harus  mawas diri (Mulat Sariro) sehingga tidak dengan mudah diperdaya karena senantiasa waspada. Kemudian Lepet yang artinya pepet atau rapat, ketat, ikatan yang kuat bertugas mengunci (dipepet) kembali hati yang dibuka tadi.

Kupat – Ngaku Lepat

Kupat atau Ngaku Lepat artinya mengaku salah. Perayaan ketupat dilaksanakan ketika hari raya. Dalam momentum itu pula ketupat sebagai simbol manusia mengakui kesalahannya. Ketupat sebagai simbol untuk meminta maaf dan mengakui segala kesalahan kepada sesama manusia, sesama makhluk Tuhan.

2. Makna Ketupat Dari Bali – Lombok

Dalam masyarakat Bali dan Lombok mengenai ketupat terdapat sebuah tradisi Perang Ketupat. Oleh masyarakat Bali perang ketupat ditunjukannya sebagai rasa syukur dan pemujaan kepada Dewi Sri. Menurut ajaran Hindu Dewi Sri adalah Dewi kesuburan atau Dewi pertanian. Perang ketupat di Bali merupakan sebuah bentuk rasa syukur atas masa panen yang melimpah, masyarakat Bali sendiri meyakini dengan adanya perang ketupat tersebut dapat mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan. Di awalinya perang ketupat dengan upacara persembahyangan di pura lalu dipimpin oleh seorang pemangku adat membaca mantra-mantra memohon kepada Sang Hyang Widhi kemudian layaknya perang sungguhan, masyarakat di bagi dua kelompok untuk saling melempar ketupat satu sama lain.

Seperti halnya di Bali, perang ketupat yang ada di Lombok pun hampir sama. Mereka akan saling melempar ketupat namun motif dari perang tersebut yang berbeda. Perang Topat atau ketupat di Lombok muncul sebagai pereda konflik antara agama Hindu dan Islam yang ketika awal masuk ke Lombok. Perang Topat atau ketupat merupakan bentuk pluralisme yang kuat antar dua umat beragama. Perang Topat selalu dilaksanakan setiap bulan purnama ke tuuh dalam penanggalan Suku Sasak.

B. Identitas Janur

Janur adalah daun muda dari jenis pohon palma besar seperti pohon kelapa dan pohon siwalan. Dalam pembuatan Ketupat dan Lepet bahan untuk membungkusnya menggunakan Janur atau daun kelapa yang masih muda karena sifatnya yang lentur sehingga dapat dianyam dan dibentuk dengan mudah. Janur dalam bahasa Jawa merupakan Sejatining Nur yang artinya Hati Nurani. Dalam ajaran Islam kita mengenal Nur Muhammad atau Cahaya Muhammad yang merupakan alasan penciptaan alam semesta beserta isinya tak terkecuali juga merupakan alasan penciptaan manusia. Boleh jadi, Nur Muhammad merupakan “cetakan” untuk segumpal tanah yang kelak Tuhan jadikannya Adam sebagai manusia pertama. Tiada Tuhan menciptakan alam semesta jika tiada Nur Muhammad. Dalam hal ini Janur atau Sejatining Nur memiliki makna atas peringatan nenek moyang kita terhadapat awal mula penciptaan alam semesta dan juga awal mula penciptaan manusia. Janur dalam ketupat adalah simbol untuk kita selalu mengingat kelahiran dan kesucian manusia.

C. Tradisi Ketupat dan Generasi Milenial

Tradisi ketupat di Bumi Nusantara telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu di awali oleh kebudayaan Hindu-Buddha sampai era Islam dan zaman Modern sekarang. Dalam perjalanannya Tradisi Ketupat mengalami pergeseran budaya. Tradisi ketupat tak lagi semeriah dan semarak yang dulu kala. Dikisahkan dahulu tradisi ketupat dilaksanakan disetiap rumah-rumah warga namun sekarang tradisi ini mengalami pengkerdilan dan pembatasan wilayah yang hanya dalam lingkup Mushola dan atau Masjid-masjid saja selepas 6 hari puasa Syawal. 

Menyempitnya ruang lingkup ketupat dalam setiap perayaannya tersebut menandakan terdapat pergeseran dan perubahan budaya dari zaman ke zaman. Di era ini kebanyakan kita tidak lagi sebagai produsen atau pembuat ketupat secara nyata, kebanyakan dari kita malah hanya sebagai konsumen dan sebatas pencicip ketupat dan tak tahu menahu mengenai proses dan tata cara pembuatannya. 

Banyak pemuda-pemudi yang sudah mulai meninggalkan tradisi ini sehingga begitu memprihatinkan bahkan kebanyakan dari kita mungkin tidak tahu cara membuat ketupat, seberapa lama memasaknya, bagaimana ukuran mengisi beras kedalam ketupat dan berbagai macam prosesi pembuatan ketupat lainnya.

Dengan fenomena yang terjadi sekarang ini. dimana kebanyakan dari kita hanyalah sebatas pencicip ketupat tanpa mau dan mampu untuk membuatnya sendiri boleh jadi bahwa kelak besok hari tradisi ketupat akan ditinggalkan dan pada akhirnya punah. Tetapi tidak menutup kemungkinan akan adanya akulturasi budaya dan pergerakan pembaharuan tradisi ketupat untuk dapat bertahan di era Milenial ini. memang diperlukan sebuah gerakan semacam itu tidak hanya tradisi ketupat tetapi juga semua tradisi agar tetap dapat bertahan di arus zaman. Kita perlu mengemas tradisi ketupat dengan gaya modern dan cara-cara yang inovatif agar tetap mampu disegala kondisi zaman yang cepat berubah. 

Jika kita menerka Tradisi ketupat di masa depan sangat memungkin bahwa ketupat akan mengalami modernisasi. Prosesi pembuatan ketupat yang begitu lama dan susah membuat orang sukar untuk membuatnya namun juga tidak menutup kemungkinan justru akan mengundang orang tertantang untuk membuatnya jauh lebih mudah dengan pengaplikasian teknologi di era ini. mengingat generasi milenial yang identik dengan kemauan dan berpikiran yang instan boleh jadi kelak ketupat dengan proses pembuatannya yang lama itu bisa menjadi semakin ringkas, cepat dan terjangkau mudah.  Sehingga tradisi ketupat terus bisa dilestarikan untuk generasi-generasi yang akan datang.

Prakata Akhir : Perubahan itu sudah pasti akan terjadi. Kenapa kita harus takut dengan perubahan dan pergeseran. Toh, cepat lambat sebuah perubahan akan terjadi juga. Seharusnya kita tidak boleh takut dengan perubahan yang sudah pasti datangnya itu. Seharusnya kita tiada takut dengan perubahan tetapi takutlah kita dengan kekosonngan persiapan. haruslah kita takut kepada diri kita sendiri ketika perubahan tepat di depan mata dan kita hanya diam merenung menunggu Sang Mesias penyelamat. Menyelamatkan tradisi, menyelamatkan budaya, dan segalanya....

Catatan : semua tulisan ini bersumber dari hasil NGOBROL ASIK (Bedah Filosofi Ketupat) yang diselenggarakan oleh Sanggar Pasir.  Klik disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun