Mohon tunggu...
Miftakhuddin
Miftakhuddin Mohon Tunggu... Freelancer - Profil pribadi

Pegiat pendidikan dan sosial-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjelang Pemilu: Sampah Masyarakat dan Sampah di Masyarakat

2 April 2014   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:11 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

entah harus dari mana saya memulai tulisan saya, beberapa hari yang lalu saya pulang dari Jember ke kampung halaman saya (Banyuwangi) dengan berkendara sepeda motor, selama perjalanan saya selalu tengok kanan kiri agar saya tidak mengantuk saat menyetir. saya baru sadar ketika sampai di wilayah Glenmore sampai Genteng bahwa yang saya lihat selama perjalanan dari Jember ke Banyuwangi adalah banner dari caleg DPR dan DPRD..,

huuhhhh,,, jengkel rasanya ketika saya menyadari kota kelahiran saya dipenuhi dengan gambar gambar caleg yang gak jelas dan dengan kata kata yang itu itu saja, sebagai bagian dari masyarakat saya merasa bosan, sepanjang jalan yang dilihat hanya gambar gambar caleg degan ekspresi senyuman terpaksa dan meragukan, ketika saya sadar muncul dalam fikiran saya, apakah mungkin mereka yang terpampang dalam banner  mampu memenuhi kehendak rakyat?

sarana promosi / kampanye dengan banner memang sangat mengganggu pemandangan, selain itu apakah tidak disayangkan biaya yang dikeluarkan untuk banner, yang sangat mengkhawatirkan adalah ketika berkampanye ria dan menggunakan banner sebagai alat promosi dan mengeluarkan banyak uang, demi cita citanya untuk menjadi anggota dewan dia sampai mencari pinjaman uang untuk kepentingan kampanye, dan ketika terpilih, maka dia masih menanggung hutang, sehingga untuk mengganti biaya promosi akhirnya akan bermuara pada tindak pidana korupsi. Nah inilah yang disebut sebagai sampah masyarakat yang sangat merugikan, untung kalo sampah ini bisa didaur ulang, lha kalau tidak? Malah jadi beban masyarakat. Kompetensi manusia yang pantas menjadi anggota dewan bukan main main, bukan sekedar mencari popularitas dan gaji yang tinggi, ini berkaitan dengan kelangsungan hidup dan kesejahteraan orang banyak. Kalau tujuan utama adalah memimpin dan memberi perubahan, itu adalah hal yang salah, bukan begitu cara untuk memberikan perubahan. Saat ini banyak sekali partai politik dan dengan sekian banyaknya perwakilan dari setiap daerah, apakah tidak ada kebijakan untuk emmbatasi jumlah partai politik yang ada di negeri ini? Sejujurnya banyak sekali keluhan dari masyrakat luas mengenai hal ini, dari tetangga saya; “partai di Indonesia sangat banyak, membuat bingung rakyat”, mungkin itu hanya peryataan yang singkat, tapi sangat banyak esensinya yang dapat diambil. dari banyaknya partai politik ini, maka sangat jelas mengindikasikan bahwa Indonesia masih sangat sulit untuk bersatu, ketika dalam rapat partai ada perbedaan pendapat dan tidak menemukan titik terang maka akan memlih jalan tengah (mendirikan partai baru), nah akhirnya menambah lagi satu partai yang belum tentu dapat membenahi, jadi satu saja sulit memecahkan masalah, apakalai terpecah?

Selain itu orienatasi anggota dewan yang menjadi sampah masyarakat diatas tidak pada pemecehan masalah, mereka lebih berperan sebagai wakil partai, sehingga dia menjadi alat yang dikendalikan oleh partai dan untuk kepentingan partai semata, yang lebih parah lagi dia bukan sekedar menjadi wakil partai tapi wakil keluarga, (mencari uang sebanyak banyaknya untuk kepentingan keluarga). Setiap orang yang ingin naik ke kursi dewan selalu didasari dengan alasan yang menyatakan bahwa system yang ada saat ini buruk dan ingin membenahi keadaan buruk ini dengan peran sertanya (memberikan perubahan). Saya pernah mendengar dari tokoh di Indonesia “jangan mengharapkan perubahan, tapi ciptakanlah perubahan”. Dari situ saya mengambil kesimpulan kalau ingin melakukan perubahan bukan menunggu dari pemerintah dan tak harus memulai dengan menjadi pemerintah terlebih dahulu. Dari bawah pun bisa, saat ini banyak sekali mahasiswa / pemuda yang melakukan perubahan di masyarakat dengan gerakan sosialnya dan berbasis pada pengabdia masyarakat. Yaah.. meskipun belum bisa membasmi sampah masyarakat (koruptor) namun gerakan semacam ini bisa mengurangi kesenjangan social yang ditimbulkan oleh sampah masyarakat.

jika kita telaah ke belakang banyak sekali yang sia sia dan bahkan sangat merugikan dari kampanye ang berlebihan dan banner banner dijalan, ini hanya akan menjadi sampah di masyarakat (sampah dalam arti denotatif). Pertama, jelas akan merusak pemandanagan, pegalaman saya ketika pulang ke banyuwangi, ada tempat yang  sangat indah dan sangat disayangkan di satu tempat sepanjang 200 mater ada banyak sekali banner caleg dengan nama dan wajah yang berbeda, merusak pemndangan kan?
dengan begitu apakah mampu menarik simpati masyarakat? Tidak. Apakah masyarakat menjadi jengkel jika tempatnya dikotori dengan hal hal tidak berguna yang nantinya menajdi sampah? Ya.

Untuk itu tata tata cara mencari simpati rakyat sudah tidak harus menggunakan cara konvensional dengan mengotori lingkungan masyarakat. Banner terbuat dari bahan yang sulit terurai. Ketika pemilu sudah usai, benda benda itu akan sangat merepotkan, Kenapa untuk mencari perhatian tidak dengan mempublikasikan karya karya dan program programnya saja, saya kiraitu lebih efektif dan ramah lingkungan. Masyaralat lebih suka yang seperti itu. “benak masyarakat menunjukkan kebenaran yang belum verified, tatapi ada” (Sujiwo Tejo). Karena terlalu seringnya masyarakat dikecewakan dengan tindak pidana korupsi, maka masyarakat menaruh stigma negative pada anggota dewan, sehingga untuk menarik perhatian mereka hendaknya anggota dewan menggunakan cara baik dan bukan cara kuno. Kita hidup dizaman teknologi masak masih mau menggunakan peralatan zaman purba, tidak kan?

Manfaatkan teknologi, jangan merusak pemandangan, jangan mengotori wilayah milik masyarakat, jangan melukai kepercayaan yang sudah diberikan oleh masyarakat (karena itu amanat dari mereka) agara tidak menambah lagi sampah masyarakat dan sampah di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun