Mohon tunggu...
Humaniora

ISIS, Pemberontak,dan Teroris dalam Hukum Internasional

21 November 2015   10:55 Diperbarui: 21 November 2015   12:05 7812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam masyarakat internasional sampai sekarang belum menemukan sebuah kesepakatan yang baku tentang pengertian teroris. Umumnya terorisme ini mengacu pada pembunuhan dengan sengaja dan gegabah pada penduduk sipil atau melakukan pengrusakan dalam skala luas terhadap property tertentu, dengan maksud untuk menyebarkan ketakutan ke seluruh penduduk dan menyampaikan pesan politik kepada pihak ketiga, biasanya pemerintah (Macrae & Harmer, 2003). Istilah terorisme dapat digunakan dalam hubungannya dengan tindakan pemerintah dalam penegakan terorisme. Lebih luas lagi terorisme dapat digunakan untuk menggambarkan tindak kekejaman dan perang saudara atau perang yang lain atau bentuk terorisme yang lain dapat mengacu pada tindakan kekejaman secara internasional, dari bagian Negara tertentu yang disebabkan oleh muatan politis (Sasmini, 2010).

Dari semua ketentuan yang terdapat dalam konvensi Jenewa sebagaimana dijelaskan diatas, maka ketentuan tersebut memungkinkan penerapanya dalam kasus perang terhadap kelompok belligeren karena batasan tentang konflik bersenjata antar pihak yang bertikai jelas wilayahnya, pihak-pihak-pihaknya dan pengaturannya, namun konsep teroris telah mengaburkan hal tersebut.

Dalam hukum humaniter internasional sudah jelas yang menjadi pihak dalam pertikaian adalah angkatan bersenjata (armies) dan penduduk sipil. Hukum humaniter membedakan dengan jelas antara keduanya yang dikenal dengan prinsip pembedaan (distinction principle). Sedangkan terorisme tidak dapat menjadi pihak dalam konflik, sehingga war on terror tidak dapat menjadi peristiwa dalam hukum humaniter internasional. Konsep ‘pihak’ disini menunjukkan tingkat minimum suatu organisasi yang disyaratkan untuk mampu melaksanakan kewajiban internasional, sedangkan teroris dalam melakukan operasinya sering tidak mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris sebagai pihak dalam pertikaian sehingga kemudian teroris belum terakomodir oleh konvensi ini.

  1. Simpulan

Berbagai gerakan penolakan terhadap pemerintahan sah yang muncul dalam dunia internasional memiliki berbagai ketentuan sehingga bisa disebut sebagai subjek hukum internasional. Terkait dengan pemberian status belligerensi pihak yang berhak memberikan status ini adalah negara yang sedang dalam sengketa dan karena itulah kemudian di berbagai negara yang sedang terjadi pemberontakan enggan memberikan status ini karena jika memberikan status belligeren maka mereka memiliki hak yang sama dalam hak-hak internasional, hal ini terjadi karena memang sifat hukum internasional yang bersifat tidak bisa memaksa. Sedangkan permasalahan teroris tidak dapat menerapkan Konvensi Jenewa 1949 maupun protokol tambahan tahun 1977 karena treaty tersebut mensyaratkan kriteria-kriteria tertentu untuk dapat disebut konflik bersenjata. Beberapa ketentuan yang bisa mengakomodir terkait teroris adalah sumber hukum humaniter internasional lainnya yakni hukum kebiasaan humaniter internasional dan atau fundamental principles namun dalam pelaksanaannya hal demikian sulit untuk dilaksanakan karena teroris merupakan jaringan yang tidak memiliki ciri-ciri yang mapan serta kelompok ini cenderung tidak mau mengikuti tata hukum yang ada.

            Dengan mengacu pada ketentuan hukum internasional, menangani permasalahan ISIS di Indonesia tentu lebih jelas status gerakanya. Hal ini terjadi karena secara struktur keorganisasian gerakan ISIS telah memiliki struktur dan organisasi yang jelas serta pergerakanya di wialayah Iraq maupun Suriah juga mendapat perlawanan dari negara tersebut. Artinya dalam kacamata hukum internasional kepada mereka melekat berbagai aturan internasional termasuk didalamnya adalah peraturan perang. Berbeda dengan teroris yang hanya mengandalkan jaringan dalam melancarkan aksi mereka.

Daftar Pustaka

Jurnal

Permanasari, Arlina. 2007. Analisis Yuridis Status Hukum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menurut Hukum Humaniter. Jurnal Hukum Humaniter. 3 (4): 782-829.

Wagiman, Wahyu. 2005. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Bahan Bacaan kursus HAM untuk Pengacara, Elsam: Jakarta

Buku

Adolf, Huala. 1991. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun