Mohon tunggu...
Miftahul Rachman
Miftahul Rachman Mohon Tunggu... Penulis - Kontributor

Lahir di desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember Propinsi jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

DPP GMNI: Meningkatnya Ekspor Kopi Berbanding Terbalik dengan Kesejahteraan Petani

15 Desember 2019   20:10 Diperbarui: 15 Desember 2019   20:10 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta. Peningkatan Eksport Komoditas Kopi ditengara tak berbanding lurus dengan kesejahteraan Petani Kopi. Hal itu diungkap Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino saat diskusi santai di sebuah Warung Kopi Jakarta, Sabtu (13/12).

"Nasib petani kopi tak seharum wangi kopi. Banyak petani kopi justru tercatat sebagai penerima bantuan beras rakyat miskin (raskin). Artinya mereka tercatat sebagai penduduk miskin yang mengandalkan subsidi pangan dari pemerintah", ungkap Arjuna

dokpri
dokpri
Menurut Arjuna, Kopi merupakan minuman yang tetap diminati  masyarakat di seluruh dunia. Data International Coffe Organization (ICO) menunjukkan bahwa konsumsi kopi dunia pada periode 2016/2017 tumbuh 1,9%  menjadi 157,38 juta karung berisi 60 kg dari periode sebelumnya. 

"Tumbuhnya konsumsi kopi global tentunya memberikan dampak positif bagi Indonesia yang merupakan negara eksportir kopi terbesar kedua dunia," katanya.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, kopi Indonesia yang diekspor mencapai 467.790 ton dengan nilai US$ 1,19 miliar atau setara Rp 16 triliun dengan kurs rupiah Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat.

Data eksport itu, kata Arjuna berbanding terbalik dengan  data Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) KBB, yang  mencatat jumlah warga miskin di Bandung Barat sebesar 11,15% atau sekitar 198.644 orang. 

Padahal Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu daerah penghasil kopi arabika jenis premium Java Preanger dengan jumlah produksi 1000 ton per tahun.

Tajamnya jurang pemisah  itu menurut  Arjuna karena   mayoritas petani tak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual kopi, yang membuat kehidupan mereka tetap  miskin meski bisnis kopi terus menggeliat.

"Selama ini petani kita tak punya daya tawar. Petani kalah dengan tengkulak. Mereka hanya menjadi objek dari transaksi yang tidak adil yang diterapkan oleh tengkulak", tambah Arjuna

Maka  Arjuna menganggap Negara harus hadir agar tercipta jalur penjualan alternatif untuk membantu petani,  agar mendapat harga jual  layak. Sehingga kesejahteraan petani bisa perlahan membaik.

"Negara harus hadir. Tidak cukup hanya dengan menentukan harga acuan. Tapi menyediakan jalur penjualan alternatif yang memberi harga yang layak kepada petani. Bisa dengan bentuk koperasi tani", tutur Arjuna

Kondisi di lapangan seringkali para tengkulak saling bekerja sama membentuk harga yang merugikan petani. Mereka membentuk kartel, hingga menguasai pasar penjualan dan distribusi komoditas tertentu.

"Petani dilumpuhkan oleh kartel tengkulak. Tapi Negara tidak boleh kalah dengan kartel. Jalan satu-satunya petani ditumbuhkan daya dan kemampuan melalui koperasi", tutup Arjuna (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun