Ada beberapa cara yang dilakukan dalam Islam untuk menjaga keperawanan Perempuan, yaitu Pertama, dengan memerintahkan Perempuan menggunakan jilbab untuk mencegah laki-laki bertindak buruk terhadapnya. Kedua, memisahkan ruangan antara laki-laki dan Perempuan, atau menjadikan Perempuan tahanan rumah yang bermula pada masa pubertas, dan Ketiga, yang paling ekstrim yaitu tradisi khitan Perempuan.Â
Suatu proses pemotongan klitoris Perempuan, yang juga mengikis dinding vagina dengan objek yang tajam. Meskipun praktik tersebut tidak ditentukan dalam al-qur'an, adat yang asalnya dari kesukuan tersebut dijadikan sebagai dogma religious. Keempat, Perempuan sebelum menikah berada di bawah kekuasaan orangtuanya, kemudian setelah Ia menikah kekuasaan beralih kepada suaminya, sehingga ketika Ia hendak keluar rumah harus mendapatkan izin terlebih dahulu, hal ini sebagai upaya menjaga perempuan dari tindakan seksual.
Persoalan moralitas seksual ini menjadi problem, karena terdapat pengekangan pada pihak Perempuan, ada banyak sekali aturan terhadap Perempuan hanya untuk menjaga keperawanannya, sehingga Perempuan dibentuk berdasarkan pada penjagaan atas keperawanan. Hal inilah kemudian yang menjadi alasan disebut sebagai sangkar keperawanan.Â
Ketika Perempuan hanya dipersepsi dengan kacamata keperawanan, maka akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap generasinya, mengingat perempuan sebagian besar dikecualikan dari Pendidikan dan dengan sengaja dijaga untuk tetap bodoh, karenanya ketika perempuan menjaga anak-anaknya, maka mereka hanya akan bisa menurunkan pengetahuan yang terbatas dan akan mengekalkan lingkaran setan kebodohan dari generasi ke generasi.Â
Hal inilah yang kemudian menjadi kritikan dari Hirsi Ali terhadap Muslim (kelompok fundamentalis). Ia menganggap seorang Muslim kehilangan pandangan tentang keseimbangan antara agama dan rasio. Oleh karenanya, kemiskinan, kekerasan, ketidakstabilan politik, dan penderitaan manusia adalah hasilnya.Â
Tidak adanya keseimbangan antara agama dan rasio pada akhirnya juga membuat Muslim tidak mampu membuka ruang pengetahuan, sebagai contoh persoalan seksualitas, atau Pendidikan seksual, yang tabu untuk dibicarakan dalam Islam, karena hanya berfokus pada persoalan sangkar keperawanan.Â
Dalam hal ini, Hirsi Ali menceritakan tentang apa yang telah Ia saksikan terkait perempuan Muslim di Barat, yang tidak memiliki cukup pengetahuan terkait seksualitas. Ia menceritakan kisah seorang Ibu yang terdeteksi positif-HIV, yang tidak percaya akan apa yang Ia alami.Â
Ia menganggap bahwa penyakit HIV tidak mungkin dialami oleh seorang Muslim, menurutnya penyakit itu hanya akan ditimpa oleh orang-orang di luar agamanya, utamanya kaum homoseksual. Ia menganggap dirinya sudah menjalani kehidupan yang berbudi luhur dan suci, dan ternyata penyakit HIV itu hadir dari suaminya yang telah melakukan hubungan seksual dengan perempuan lainnya.
Selain itu, Hirsi Ali juga menceritakan kisah seorang perempuan imigran pencari suaka yang masih di bawah umur, namanya Anab. Di Belanda Anab tinggal bersama kakak tirinya, Saied, yang telah memiliki istri. Anab tentu tidak sendiri, ia bersama adiknya Shukri. Mereka memiliki nasip yang buruk akibat mendapatkan pelecehan seksual dari kakak tirinya.
 Shukri dengan keberaniannya melaporkan tindakan kekerasan tersebut kepada pihak yang berwenang. Akhirnya, Saied ditangkap oleh polisi dan dipenjarakan. Namun, nasip buruk Anab tidak berakhir di situ. Pihak keluarga Anab mengupayakan untuk menemukan sepupu yang siap menikahi Anab untuk membersihkan nama keluarga.Â
Akhirnya, Anab dinikahkan dengan sepupu yang juga kesusahan mencari istri. Keluarga Anab berkata kepadanya, "Kami memiliki istri untukmu, tetapi kamu harus menjaga mulutmu tentang apa yang telah menimpanya".Â