Laut China Selatan (LCS) merupakan kawasan strategis yang memiliki potensi konflik tinggi karena klaim tumpang tindih oleh beberapa negara, termasuk China, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Laut China Selatan (LCS) menjadi fokus perhatian internasional karena potensinya yang besar baik dari segi sumber daya alam maupun sebagai jalur distribusi minyak dan perdagangan dunia. Â Di kawasan Asia Tenggara, LCS merupakan titik krusial yang mempengaruhi stabilitas regional. Bagi Indonesia, meskipun tidak terlibat dalam klaim langsung atas wilayah ini, ancaman yang ditimbulkan oleh ketegangan di LCS sangat signifikan terhadap kedaulatan dan keamanan nasional Indonesaia. Melalui tulisan ini, saya akan menguraikan secara kritis dan rinci mengenai ancaman konflik di LCS terhadap kedaulatan Indonesia, serta bagaimana strategi pertahanan dan diplomasi yang dapat diterapkan untuk menghadapi ancaman ini.
Indonesia memiliki kepentingan strategis di LCS, terutama terkait dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Natuna. Kawasan ini tidak hanya kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas, tetapi juga merupakan wilayah yang krusial untuk keamanan maritim dan jalur perdagangan. Oleh karena itu, stabilitas di LCS berpengaruh langsung terhadap keamanan dan kedaulatan di Laut Natuna dan sekitarnya, termasuk Indonesia. Hegemoni China di kawasan LCS ini menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia, dimana China telah berusaha memperkuat klaimnya di LCS melalui reklamasi lahan, pembangunan fasilitas militer di pulau-pulau buatan, dan patroli maritim yang agresif. Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan niat China untuk mengamankan wilayah tersebut tetapi juga memperlihatkan upaya untuk mengubah status quo secara sepihak. Beberapa insiden antara kapal penjaga pantai China dan kapal Indonesia di sekitar perairan Natuna menunjukkan bahwa ketegangan antara China dan Indonesia bisa saja meningkat menjadi konflik jika tidak dikelola dengan baik.
Dalam memahami dinamika konflik di LCS dan implikasinya bagi Indonesia, saya merujuk pada beberapa teori utama dalam Hubungan Internasional. Khususnya teori perimbangan kekuatan (balance of power) yang dikembangkan oleh Kenneth Waltz. Menurut Waltz, negara adalah aktor utama dalam politik internasional dan akan berusaha mempertahankan atau meningkatkan kekuatannya untuk mencapai kepentingan nasional. Dalam konteks LCS, Indonesia harus meningkatkan kekuatan pertahanannya untuk menghadapi potensi ancaman dari negara lain yang lebih dominan. Selanjutnya teori realisme yang menekankan pentingnya kekuatan dan keamanan negara dalam sistem internasional yang anarkis, sangat relevan dalam konteks LCS ini. Realis berpandangan bahwa negara-negara akan bertindak untuk memaksimalkan kekuasaan dan keamanan mereka. China, sebagai kekuatan dominan di kawasan ini, menggunakan kekuatan militer dan ekonomi untuk memperkuat klaimnya. Begitupun Indonesia, pendekatan realisme ini mengharuskan peningkatan kapasitas militer dan pertahanan Indonesia untuk menyeimbangkan kekuatan di kawasan LCS. Sedangkan, Liberalisme menekankan pentingnya kerja sama internasional, institusi global, dan interdependensi ekonomi. ASEAN dan berbagai forum internasional, seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS), menjadi jembatan untuk dialog dan kerja sama dalam mengelola sengketa di LCS. Liberalisme menggarisbawahi pentingnya diplomasi dan kerja sama multilateral bagi Indonesia.
Untuk menghadapi ancaman ini, Indonesia juga harus mengembangkan strategi pertahanan yang kuat dan adaptif berdasarkan tiga pendekatan utama yang dapat diterapkan. Pertama, strategi penangkalan (Deterrence) dengan membangun kemampuan militer yang kredibel untuk menghalangi tindakan agresif dari pihak lain. Strategi ini mencakup peningkatan anggaran pertahanan, modernisasi alat utama sistem senjata (Alutsista), dan peningkatan kapasitas angkatan laut dan udara di sekitar perairan Natuna. Kedua, pertahanan komprehensif (Comprehensive Defense) dengan mengadopsi pendekatan pertahanan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta karena koordinasi antara berbagai institusi negara dan kesiapsiagaan nasional sangat penting untuk menghadapi segala bentuk ancaman. Ketiga, diplomasi pertahanan (Defense Diplomacy) untuk membangun kemitraan dengan negara-negara lain dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional melalui latihan militer bersama, dialog strategis, dan kerjasama pertahanan. Diplomasi pertahanan memainkan peran kunci dalam memperkuat keamanan nasional dan menjaga stabilitas regional. Diplomasi ini mencakup berbagai kegiatan seperti latihan militer bersama, pertukaran personel, dan dialog strategis. Berbagai langkah telah diambil oleh Indonesia sebagai inisiatif diplomasi pertahanan untuk mengelola sengketa di LCS agar tidak terjadi konflik yang lebih meluas, diantaranya adalah latihan militer bersama dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Australia untuk meningkatkan kemampuan operasional dan membangun kepercayaan, kerjasama intelijen dengan negara-negara tetangga untuk mengantisipasi dan merespon ancaman keamanan secara lebih efektif, dialog strategis dengan negara-negara ASEAN dan super power lainnya untuk membahas isu-isu keamanan maritim dan mencari solusi bersama.
Meskipun sudah banyak langkah yang Indonesia lakukan untuk mengelola sengketa di LCS agar tidak terjadi konflik yang lebih meluas, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dalam mengamankan kedaulatannya di LCS seperti meningkatnya aktivitas militer China di LCS yang mengancam stabilitas regional dan kedaulatan Indonesia di perairan Natuna. Ketidakpastian terkait klaim wilayah di LCS dan implementasi keputusan internasional seperti Putusan Pengadilan Arbitrase 2016 juga menimbulkan dilema hukum bagi Indonesia. Dan ancaman kejahatan lintas batas seperti perompakan, penyelundupan, dan penangkapan ikan ilegal yang masih memerlukan respon yang terkoordinasi dan efektif.
Strategi dalam menghadapi tantangan yang masih ada tersebut adalah melalui strategi penangkalan (deterrence strategy) yang harus diterapkan secara efektif. Strategi ini mencakup dua pendekatan utama berupa penangkalan dengan penolakan (Denial Deterrence) dan penangkalan dengan pembalasan (Retaliation Deterrence). Denial Detterance dilakukan dengan meningkatkan kemampuan pertahanan untuk memastikan bahwa setiap upaya agresi oleh pihak lain akan mengalami kegagalan sebelum masuk ke wilayah yurisdiksi Indonesia. Langkah ini membutuhkan kesiapan militer yang tinggi dan kehadiran maritim yang kuat di wilayah-wilayah strategis. Dan Retaliation Deterrence yaitu menyiapkan kapasitas untuk memberikan respons yang setimpal terhadap setiap tindakan agresi dengan melibatkan kemampuan untuk melakukan operasi militer yang efektif sebagai bentuk pembalasan terhadap ancaman atau serangan.
Ancaman konflik di Laut China Selatan merupakan tantangan serius bagi kedaulatan dan keamanan nasional Indonesia. Menghadapi ancaman ini memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, yang melibatkan penguatan pertahanan nasional, diplomasi yang cerdas, dan kerja sama internasional yang kuat. Pendekatan ini harus didasarkan pada pemahaman mendalam mengenai teori Hubungan Internasional dan kajian strategis, serta penekanan pada implementasi strategi penangkalan yang efektif. Melalui langkah-langkah strategis yang telah saya paparkan, Indonesia dapat melindungi kepentingan nasionalnya, menjaga kedaulatan wilayah, dan berperan aktif dalam menjaga stabilitas regional di tengah dinamika geopolitik yang kompleks di Laut China Selatan. Kerjasama bilateral dan multilateral yang kuat, serta diplomasi pertahanan yang efektif, akan menjadi kunci bagi Indonesia untuk menghadapi tantangan di masa depan dan memastikan keamanan serta kemakmuran bagi seluruh bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H