Mengenai rumah saya sudah terbiasa menghadapi sunyi di sana, hanya teriakan ibu yang memecah keheningan, atau denting arloji tua sebagai pengingat.Â
Rumah mendadak  ramai malam ini, tepatnya di kepalaku sendiri. Di sana sedang sibuk berdialektika, memaki, memohon, memaafkan, tapi tidak juga sampai mengikhlaskan.Â
Sambil berbisik, amigdala ;Â Bagaimana? Kamu tidak mungkin melewatkan perayaan ini kan? Hanya sebentar saja, kemarilah Perayaan selalu menyenangkan bukan? Sekalipun itu merayakan kehilangan. Selorohnya
Sial batin ku mengamini permintaanya, rangkaian repetisi mulai erputar di kepala, memoar menyelinap di tengah rumpang. Seperti tersesat di belantara isi kepala sendiri, tapi tidak ingin menemukan jalan, stagnan di sana
Lagi, saya terlalu suka terjebak mengenangmu, terlalu sukar untuk kulerai datangnya. Sungguh membuatku makin meringkih, tidak bisa apa-apa
Tak apa ; Melegakan jika titik akhirnya adalah air mata, mengusahakan rela
_M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H