Data sebagai Faktor Produksi: Strategi Baru China untuk Pertumbuhan EkonomiÂ
Perubahan dramatis dalam lanskap kebijakan data global menandai transisi yang penting dari regulasi privasi menuju intervensi negara yang lebih luas terkait alokasi data. Salah satu contohnya adalah kebijakan proaktif yang diadopsi oleh China. Selama satu dekade terakhir, China, melalui Partai Komunis (CCP), telah memperkenalkan serangkaian kebijakan yang bertujuan untuk merekonstruksi bagaimana data dipandang dan dikelola dalam sistem ekonomi nasional mereka. Tidak seperti banyak negara lain yang mengambil pendekatan reaktif, China mengambil langkah proaktif untuk mengubah data dari barang pribadi menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara kolektif.
Konsep "data sebagai barang kuasi-publik" yang diperkenalkan dalam kebijakan tersebut mencerminkan bagaimana China memposisikan data sebagai faktor produksi yang setara dengan tanah, tenaga kerja, modal, dan teknologi. Pada tahun 2020, Dewan Negara China secara resmi mengakui data sebagai faktor produksi kelima, dengan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi dan ketersediaan data di seluruh sektor ekonomi (State Council, 2020). Perubahan ini tidak hanya mencerminkan upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas tinggi, tetapi juga menunjukkan bagaimana negara dapat menggunakan data untuk mengarahkan pengembangan ekonomi dan sosial secara lebih terpusat.
Kebijakan data China ini merupakan contoh penting bagaimana negara-negara lain dapat mulai mengevaluasi ulang pendekatan mereka terhadap manajemen data di era digital. Di era ketika data telah menjadi "minyak baru", kebijakan proaktif seperti yang diadopsi oleh China menunjukkan bagaimana negara dapat mengubah data menjadi alat strategis untuk pertumbuhan ekonomi dan kontrol sosial.
***
Kebijakan yang diterapkan oleh China, terutama melalui pengenalan konsep "komunisme data," menggambarkan pergeseran yang signifikan dalam cara data dikelola di tingkat nasional. Dalam kerangka ini, data diperlakukan sebagai barang kuasi-publik, yang berarti bahwa penggunaannya tidak lagi eksklusif untuk individu atau perusahaan tertentu, tetapi didorong untuk melayani kepentingan kolektif. Sebagai contoh, pada tahun 2020, Dewan Negara China menetapkan data sebagai faktor produksi kelima, bersama dengan tanah, tenaga kerja, modal, dan teknologi (State Council, 2020). Langkah ini menjadi dasar bagi serangkaian kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi data guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tinggi.
Penting untuk dicatat bahwa kebijakan ini didukung oleh serangkaian langkah-langkah konkret yang mendorong sirkulasi data di sektor-sektor seperti transportasi, pertanian, dan keamanan publik. Salah satu contohnya adalah undang-undang tahun 2017 yang mewajibkan perusahaan-perusahaan di sektor kendaraan energi baru (NEV) untuk berbagi data operasional mereka dengan pemerintah. Data ini kemudian dapat diakses oleh pihak-pihak terkait untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan sektor ini (Martens & Zhao, 2021). Dalam kurun waktu 2018 hingga 2021, pasar NEV di China tumbuh dari 4,2% menjadi 13,3%, mendekati target penetrasi EV sebesar 20% pada tahun 2025 (Miotech, 2021).
China juga memanfaatkan pilot project untuk memahami dampak kebijakan ini sebelum implementasi yang lebih luas. Misalnya, Guizhou Province ditunjuk sebagai zona percobaan besar untuk kebijakan data sejak 2015, menjadi laboratorium uji coba untuk kebijakan yang kemudian diterapkan di tingkat nasional (Qin et al., 2023).Â
Pendekatan ini memungkinkan China untuk meminimalisir risiko dan menyesuaikan kebijakan berdasarkan hasil nyata di lapangan. Dengan mengadopsi pendekatan bertahap, China mencoba memaksimalkan potensi ekonomi dari sirkulasi data, sekaligus mengurangi hambatan yang dapat memperlambat adopsi di sektor-sektor tertentu.
Angka-angka ini mencerminkan bahwa pendekatan China berhasil mempercepat pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor melalui data sharing. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan pertanyaan serius terkait privasi dan kontrol sosial, di mana peran negara yang dominan dapat menimbulkan kekhawatiran tentang penggunaan data untuk tujuan pengawasan.
***