Mohon tunggu...
Miftahul Afdal
Miftahul Afdal Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Menjadi seperti mata air yang mengalir menghidupkan tumbuhan disekitarnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku Dalam Senyuman Seorang Anak Masyarakat Adat Suku Lauje

24 Mei 2020   21:34 Diperbarui: 24 Mei 2020   21:30 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanpa sengaja sekira pukul 15.30 WITA. Seorang anak kecil berkisar 5 tahun dari masyarakat adat suku lauje atau biasa disebut Bela melintasi sungai Desa Bambasiang, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong. Sambil menggendong alat pancing yang terbuat dari bambu yang diikatkan dengan tali urat beserta kail.

Nampak pula umpan dari semut merah yang berukuran besar terselip di tangan sebelah kirinya. Semut merah itu masyarakat adat suku lauje menyebutnya dengan "Laga" atau "Lo".

Sesampainya di bibir sungai umpan lo itu ia kaitkan di kail, dengan rasa tenang ia membuang perlahan ke sungai, selanjutnya alat pancing ia tancapkan ke tanah.

Sambil menunggu dan berharap ada seekor ikan memakan umpannya, maka ia pun bergegas mencari tambahan umpan lo yang bersarang di dedaunan.

Sebagai masyarakat nomaden yang tinggal di pegunungan memancing, berburu, dan bercocok tanam adalah keutamaan yang harus dilakukan dalam oleh masyarakat adat suku lauje untuk bertahan hidup yang juga mereka ajarkan kepada anak-anak mereka agar bisa terwarisi secara turun temurun.

Jika ditanyakan soal buku, maka anak-anak Bela akan menjawab dalam senyuman. Hal itu dikarenakan masih minimnya literasi yang diterima oleh masyarakat adat suku lauje khususnya anak-anak mereka.

Bukannya mereka tidak tahu membaca dan menulis tetapi mereka hanya belum tahu. Untuk merespon itu Pemerintah telah mengupayakan pembangunan sumber daya manusia bagi masyarakat adat suku lauje yang berada di pegunungan dengan membangun Sekolah Dasar Terpencil (SDK).

Namun, dengan banyaknya SDK yang sudah berdiri di pegunungan hanya sebagian kecil saja yang minat terhadap buku, bukan tanpa sebab, karena cara mengajak mereka untuk membaca masih keliru.

Terlebih lagi, kehidupan anak-anak Bela yang mengharuskan mereka untuk membantu orang tua menafkahi sanak saudara dirumah tidak bisa terhindar, sehingga mereka yang bersekolah akan masuk pada pagi hari dan selanjutnya pada petang akan membantu orang tua.

Nah, perlunya perubahan pendekatan secara persuasif kultural kepada anak-anak Bela, bukan hanya dengan pembelajaran formal di dalam kelas, namun perlu juag pembelajaran non formal di alam dengan mengajak mereka bermain sekaligus belajar dengan menggunakan media alam agar dapat memahami apa yang diajarkan kepada mereka.

Tak bisa dipaksakan, bagaimana mereka harus mencari nafkah bersama orang tua, sebab tidak ada jaminan dari negara untuk mereka dapat tetap bertahan hidup, seharusnya Guru dapat ikut serta dalam keseharian bersama murid di pegunungan untuk dapat merekatkan ikatan emosional, dengan begitu minat belajar akan tersimpan dibenak mereka karena dengan kedekatan Guru dan murid akan memberikan stimulus kepada murid agar lebih memahami seperti apa yang mereka inginkan.

Namun disayangkan, tidak sedikit dari anak-anak Bela hanya menyelesaikan sekolah sebatas SDK, adapun yang mengikuti Sekolah Menengah Pertama (SMP) tapi pada umumnya adalah SMP Terbuka bukanlah SMP Negeri. Sebab, jarak sekolah dan rumah anak-anak Bela yang dipergunakan begitu jauh.

Anak-anak Bela harus menuruni gunung untuk menuju ke sekolah yang lebih banyak terbangun di pedesaan dengan jarak puluhan kilometer. Begitu pun dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai pada minat melanjutkan ke jenjang perkuliahan.

Tentu saja, akibat mahalnya pendidikan menjadi imbas dari rendahnya minat hingga ke tingkat perkuliahan, jika saja Pemerintah dapat menjalankan amanat Undang-undang Dasar pasal 31 ayat (4)
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI) mengamanatkan pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen, baik alokasi melalui intervensi anggaran Pemerintah Pusat yaitu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, maka anak-anak Bela pasti akan bisa mendapatkan pendidikan yang layak hingga jenjang perkuliahan.

Kembali ke buku, minat terhadap buku harus terus dilekatkan pada keseharian anak-anak Bela, memang tidak mudah untuk melakukan itu tapi tidak ada yang tidak mungkin jika dilakukan oleh semua pihak, baik Pemerintah, Guru, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Kepemudaan, yang sadar akan pentingnya buku sebagai kendala dunia. Bersama wujudkan buku dalam senyuman anak-anak masyarakat adat suku lauje sebagai kemajuan literasi bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun