Mohon tunggu...
Miftahul Komar
Miftahul Komar Mohon Tunggu... Serabutan -

Ikhlas itu menikmati dan mensyukuri proses

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terkaya Karena Jual "Racun"

5 Desember 2015   14:32 Diperbarui: 5 Desember 2015   15:12 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata racun mengandung arti zat (gas) yang dapat menyebabkan sakit atau mati (kalau dimakan, dihirup). Ada banyak jenis racun yang cukup terkenal di masyarakat. Dari mulai racun tikus, serangga dan racun tanaman hingga racun yang digunakan untuk meracuni manusia (contoh kasus kematian Munir aktivis HAM). Anehnya racun yang berkonotasi menyeramkan dan membahayakan kehidupan mahluk hidup ternyata dapat diperoleh dengan mudah karena memang dijual bebas. Dan dari sekian banyak racun, ada satu racun yang bahkan sangat digemari ; ROKOK.

MEROKOK SEBABKAN KANKER TENGGOROKAN, demikian PERINGATAN yang bisa dibaca pada bungkus rokok. Namun peringatan cuma sekedar peringatan, faktanya banyak masyarakat Indonesia yang masih menafikan peringatan bahaya merokok. Hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS), Indonesia menduduki posisi pertama dengan prevalensi perokok aktif tertinggi, yaitu 67,0 % pada laki-laki dan 2,7 % pada wanita (bandingkan dengan India, 2009): laki-laki 47.9% dan wanita 20.3 %; Philippines (2009): laki-laki 47,7 % dan wanita 9,0%; Thailand (2009): laki-laki 45,6% dan wanita 3,1%; Vietnam (2010): 47,4% laki-laki dan 1,4% wanita; Polandia (2009): 33,5% laki-laki dan 21.0% wanita). (http://www.depkes.go.id/article/print/2048/kemenkes-luncurkan-hasil-survei-tembakau.html). Padahal disadari atau tidak dengan mengonsumsi barang berbahaya tersebut sebenarnya perokok tengah "menabung" penyakit dalam tubuhnya. Kenikmatan subyektif yang didapat pada saat merokok pada akhirnya akan ditukar dengan penderitaan. Sebuah pertukaran yang sangat mahal.  

Hasil yang lebih mengejutkan bisa dibaca dari hasil survei Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu yang dipadu dengan riskedas (riset kesehatan dasar) Pemprov Jatim, setiap tahunnya orang yang masuk kategori miskin di Batu ternyata menghabiskan uang Rp 134,6 miliar hanya untuk membeli rokok. Jumlah itu diambilkan dari hasil survei orang miskin di Kota Batu sebanyak 62.356 orang. Sekitar 60 persen atau 37.414 orang miskin itu merokok. Setiap harinya rata-rata rokok yang dihabiskan adalah sepuluh batang.

Menurut hasil survei, dari jumlah warga miskin yang perokok, 10 persen di antaranya mengonsumsi rokok lebih dari sepuluh batang per hari. Dengan asumsi sepuluh batang seharga Rp 10 ribu, maka dalam setiap harinya uang yang dibelanjakan untuk rokok adalah Rp 374,14 juta. Itu artinya, dalam satu bulan atau 30 hari, uang yang dibelanjakan membeli rokok sekitar Rp 11,2 miliar. Dan dalam setahun, angkanya bisa tembus sebesar Rp 134, 6 miliar. (https://www.facebook.com/radarmalangnews/posts/179864268804493). Bandingkan dengan pendapatan tiket Arema Indonesia yang hanya tembus Rp 10 miliar dalam satu musim. (http://www.goal.com/id-ID/news/1387/nasional/2013/09/10/4250443/pendapatan-tiket-arema-indonesia-tembus-rp10-miliar-semusim).

Angka yang sangat fantastis, Rp 134,6 miliar selama satu tahun dalam satu kota. Padahal survei tersebut hanya mengambil sampel orang miskin, belum ke masyarakat kelas menengah dan atas. Dengan menggunakan asumsi diatas, yang jadi pertanyaan adalah, berapa uang yang dihabiskan masyarakat untuk membeli "racun"  dalam satu tahun bila saat ini ada 514 Kabupaten Kota di Indonesia ? Dari kalkulasi angka-angka tersebut, ternyata bisnis "racun" di Indonesia benar-benar sangat menggiurkan. Mungkin hal ini juga yang membuat keluarga pemilik salah satu produsen rokok menjadi orang terkaya di Indonesia versi Forbes (http://intisari-online.com/read/20-orang-terkaya-di-indonesia-2015-versi-forbes-keluarga-pemilik-djarum-masih-yang-terkaya-di-indonesia). 

Sepertinya ada yang salah dengan negeri ini.

 

Salam Santun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun