Mohon tunggu...
Miftahul Hasanah
Miftahul Hasanah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Antasari Banjarmasin

Tugas Kuliah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sumber Argumentasi Terkait UU Ciptaker Dari Sudut Pandang Filsafat

8 November 2020   08:28 Diperbarui: 28 April 2021   23:51 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demonstrasi omnibus law UU Cipta Kerja (dara.co.id)

Akhir-akhir ini, publik Indonesia dihebohkan terkait pengesahan Omnibus Law, atau undang-undang sapu jagat berupa UU Cipta Kerja yang memanaskan hampir seluruh lapisan masyarakat. 

Asumsi masyarakat bermunculan, menyatakan bahwa dengan adanya hal ini hanya akan menyengsarakan masyarakat kecil, khususnya para buruh, dan semakin membuka celah besar bagi para investor untuk meraup keuntungan di negara tercinta kita. Hal ini diakibatkan karna UU Cipta Kerja dianggap banyak memuat pasal yang kontroversial. Ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak UU Cipta Kerja, begitupun kaum millenial, seperti halnya kalangan mahasiswa.

Tujuan penulisan artikel ini ialah; mengamati terkait dasar-dasar atas asumsi bahwa Omnibus Law benar menyengsarakan kaum buruh. Dimana, sikap menerima begitu saja atas Omnibus Law ini pun dinilai dapat menyengsarakan kaum buruh. Sehingga, asumsi ini melahirkan asumsi baru yang membuat berbagai pihak menyimpulkan bahwa mendukung Omnibus Law tersebut berarti tidak mendukung kesejahteraan hidup kaum buruh.

Pertanyaannya, apakah tepat asumsi tersebut dijadikan landasan argumentasi? Bagaimana dasar-dasar argumentasi tersebut, apakah dapat dibenarkan?

Dari artikel lain yang saya jadikan salah-satu rujukan terkait masalah Omnibus Law yang saya angkat sebagai pembahasan disini, disana diterangkan bahwa;

Jean Goodwin dalam tulisannya Henry Johnstone, Jr.’s Still-Unacknowledged Contributions to Contemporary Argumentation Theory menyebutkan bahwa argumentasi dalam argumentation theory adalah bentuk dari ketidaksetujuan atau penolakan atas suatu premis – pernyataan atau konsep – sebelumnya. Dari teori argumentasi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Omnibus Law yang dikatakan bisa menyengsarakan kaum buruh itu layak disebut sebagai suatu argumentasi karena merupakan suatu bentuk penolakan atas produk hukum tersebut.

Dalam kajian filsafat ilmu atau filsafat pengetahuan (epistemologi), suatu argumentasi dapat berasal dari semacam kepercayaan mendasar sebagai fondasi dalam argumentasi. Setelah asumsi bahwa Omnibus Law dapat menyengsarakan kaum buruh dikategorikan sebagai suatu argumentasi, maka kini yang harus diamati adalah kepercayaan dasar dari argumentasi tersebut.

Asumsi semacam itu telah tumbuh subur di setiap zaman, mulai dari Yunani kuno, Mesir kuno, hingga kini. Asumsi bahwa masyarakat kecil yang dalam konteks ini adalah kaum buruh telah menjadi kepercayaan yang begitu umum untuk dilindungi haknya, bahkan sampai kini membuat kepercayaan umum tersebut menjadi semacam standar moralitas keadilan. Maka, kini familiar sekali pertanyaan tentang; bagaimana bisa ada keadilan bila masyarakat kecil saja tak dilindungi lagi haknya?

Artikel ini juga mempertanyakan tentang dari mana masyarakat dapat membangun kepercayaan itu, sehingga dapat menyatakan argumen tersebut benar adanya. Kali ini kita hubungkan kaitannya dalam dunia filsafat, terkhusus dasar-dasar yang membangun argumen tersebut (darimana sumber pengetahuan "argumen" itu didapat?), yakni:

1. Sumber Akal/rasio
Sebagai manusia yang berakal, kita menggunakan logika untuk dapat berpikir logis. Logis dapat diartikan sesuai dengan akal sehat manusia. Cita-cita bangsa Indonesia adalah menciptakan keadaan masyarakat yang adil dan makmur. Sesuai dengan nilai kelima pancasila, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, maka seharusnya peraturan yang dibuat juga untuk memenuhi keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Penggunaan akal dan rasio yang sehat ini, menjadi dasar masyarkat berargumen. Dengan peraturan yang dikatakan membuat rakyat menderita tersebut, maka hal itu dinyatakan tidak sesuai dan tidak bisa diterima akal sehat manusia apabila dibandingkan dengan nilai pancasila yang menginginkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

2. Sumber Pengalaman Empiris
Indera manusia diciptakan untuk melihat, mendengar, dan merasakan suatu peristiwa atau keadaan yang ada di sekelilingnya. Hingga kini apa yang tampak, apa yang didengar, dan apa yang dirasakan masyarakat belum menyatakan bahwa mereka sejahtera hidupnya. Keadaan yang seperti ini kemudian menggiring asumsi publik hingga berargumen.  Terbukti hingga kini masih banyak masyarakat kecil yang belum terbawa kepada kehidupan yang aman, nyaman, damai, dan bahagia. Keadilan yang dijanjikan belum merata.

Sesuai kenyataan yang rakyat lihat, Indonesia mempunyai jumlah rakyat yang banyak. Banyaknya rakyat dan penduduk ini, tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan. Sehingga pengangguran merajalela.

Kemudian, lahir UU tersebut yang oleh akal tadi dianggap bertentangan dengan nilai Pancasila. Hal ini kemudian mendorong kembali opini masyarakat terkait Omnibus Law, yang dirasa tak akan membawa keadilan bagi masyarakat kecil, sebagaimana yang sudah-sudah terjadi, dan terbukti di lapangan, sehingga penolakan dianggap perlu dilakukan oleh masyarakat untuk menuntut dan mempertahankan kesejahteraannya.

3. Sumber Wahyu
Wahyu memiliki kebenaran yang hakiki, dan tak dapat diganggu gugat kebenarannya oleh siapapun, karena tuhan ialah satu-satunya pemilik kuasa. Wahyu disampaikan melalui perantara utusan-Nya, disampaikan agar menjadi dasar dan rujukan bagi para penganut berdasarkan kepercayaanya. Setiap agama pasti memerintahkan kebaikan bagi para penganutnya. 

Wahyu, pada dasarnya memiliki gagasan yang mengisahkan makna dan jalan kehidupan manusia, serta mengandung nilai etika dan moral, yakni; bagaimana seharusnya manusia hidup, hubungannya secara vertikal kepada tuhan, maupun horizontal kepada sesama atau lingkungan.

Argumen masyarakat tersebut dapat juga didasarkan atas wahyu tuhan, bila sesuatu yang bertentangan dengan kehendak tuhan, maka perlu dibenahi dan diluruskan, agar tidak menimbulkan kerugian. Etika adalah ukuran kesopanan dan kesantunan, ini salah-satu dari syari'at tuhan. Dengan lahirnya peraturan tersebut, bilamana rakyat dapat semakin menderita, maka moralitas untuknya menjadi dipertanyakan. Etika menjadi kebutuhan bagi setiap manusia. Mengingat hal-hal tersebut dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi orang lain di sekitarnya. Tanpa etika, perseteruan dan perpecahan, akan kerap terjadi.

4. Sumber Intuisi
Bagi Nietzsche, intuisi merupakan “inteligensi yang paling tinggi” dan bagi Maslow, intuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak experience). Sumber intuitif didasarkan pada penangkapan bathin secara langsung yang dilakukan atau terjadi oleh orang yang bersangkutan, tanpa melalui proses penalaran. Seseorang yang mendapat intuisi ini bisa tiba-tiba mendapatkan jawaban atas suatu permasalahan yang sebelumya sudah diusahakan namun malah menemui kebuntuan, bisa juga memperoleh intuisi tanpa melewati proses berpikir yang berliku-liku yang datang di luar kesadarannya.

Begitulah yang dapat juga terjadi sehingga memunculkan argumen di tengah-tengah masyarakat ini. Dari luar kesadarannya, bisa saja tiba-tiba masyarakat terpikirkan atau merasakan kecemasan, kejanggalan atau apapun yang membuatnya menyatakan argumen tersebut terhadap pengesahan UU ini. 

Tidak menutup kemungkinan, apabila peraturan yang demikian ternyata dipertanyakan juga terpikirkan sejak berabad-abad lalu oleh para orang terdahulu bila hal ini terjadi kala itu. Dari sudut pandang filsafat, baik dan buruknya sesuatu dapat diukur, langsung maupun tak langsung, sengaja maupun tak sengaja, pasti ada hal yang mestinya terbesit oleh kita sebagai manusia.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa asumsi yang masyarakat sampaikan dapat dikatakan sebuah argumentasi sebagai suatu dari bentuk penolakan terhadap UU tersebut. 

Masyarakat dapat menyatakan argumen tersebut dari cara ia menangkap sebuah permasalahan, argumen dapat timbul akibat adanya pemikiran logis akal, atau kejadian yang tampak sehari-sehari di sekitar masyarakat, atau bisa juga didasarkan sebab peraturan itu tenyata bertentangan dengan wahyu-wahyu tuhan, atau malah dari sesuatu yang pada awalnya tak terpikir, hingga akhirnya menjadi terpikirkan dengan sendirinya di luar kesadaran. 

Tentunya kesemuannya saling berkaitan menolak adanya UU Ciptaker itu. Penelitian, survey, dan apapun yang sifatnya ilmiah, bisa dibutuhkan sebagai sarana pembuktian bagi argumen tersebut.

Kita hidup di negara demokrasi. Pemerintah mestinya dapat lebih bijak memperdengarkan aspirasi masyarakat, agar apa yang dijadikan putusan dapat sejalan dengan kehendak dan cita-cita rakyat, supaya nantinya tidak menimbulkan kontroversi dan perpecahan lagi.

Hal seperti ini juga akan merubah asumsi publik terhadap pemerintah menjadi lebih cerah, dan optimis ke depan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun dapat terjalin dengan baik. 

Bila tak dibenahi dan selalu seperti ini saja, yang ada hanya keraguan, kemarahan, ketidaksukaan, dan ketidak percayaan lagi terhadap pemerintah, bagaimana bisa mewujudkan cita-cita bersama yang terkandung dalam nilai pancasila, apabila rakyat dengan pemerintahnya saja sudah tak saling sinkron. Bagaimana bisa menciptakan Indonesia yang rakyatnya merasakan keadilan, ketentraman, dan kesejahteraan, jika pemerintah dan rakyatnya saja sering berseteru, hendaknya kita sama-sama merenunginya.
Referensi:

Lies Soedibyo, dkk. 2014. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Deepublish

https://ibtimes.id/omnibus-law-dalam-kacamata-aksiolog/

https://pinterpolitik.com/kebencian-omnibus-law-dan-argumentasi-kiri

Wahana, Paulus. Menguak Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Kegiatan Perkuliahan. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember 2008

Welhendri Azwar dan Muliono. 2019. Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun