Mohon tunggu...
Miftahul Munir
Miftahul Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jangan takut gagal, cobalah sebanyak mungkin sebisamu

Mahasiswa Universitas Sultan Agung Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan Dini dan Upaya Perlindungan Anak di Indonesia

12 Januari 2022   11:45 Diperbarui: 12 Januari 2022   11:58 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan Dini serta Upaya Perlindungan Anak di Indonesia 

Miftahul Munir

Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Abstrak

Artikel ini berniat untuk menelusuri dari dasar epistimologis pernikahan dini dan memperkuat pendapat mengenai pentingnya perubahan hukum keluarga Islam, terutama yang berhubungan dengan menaikkan usia minimum pernikahan. Artikel ini adalah buah dari analisis kepustakaan dengan ketentuan deskriptif-kualitatif dan menggunakan pendekatan paham maqashid al-shariah. 

Pernikahan dini adalah buah dari interpretasi para johar dari QS Ath-Thalaq [65]: 4 yang mengisyaratkan iddah bagi mereka yang belum menstruasi. Islam tidak memberikan batas umur yang teladan dalam pernikahan.

Pernikahan bisa dilakukan oleh calon pengantin yang belum atau sudah pubertas jika mereka telah memenuhi syarat dan bergaul dengan pernikahan. 

Namun demikian, pendapat para ulama tidak selaras mengenai batas usia pubertas bagi laki-kaki dan perempuan dan kemampuan untuk menikahi seseorang pada umur anak-anak. 

Batas umur perkawinan perlu diperbaiki mengingat berbagai efek negatif yang timbul akibat model pernikahan ini, seperti perkara kesehatan reproduksi wanita, perkara ekonomi keluarga, dan perceraian. 

Model pernikahn ini tidak bisa lagi dipraktikkan karena tidak sesuai dengan maqashid al-nikah yaitu membangun keluarga yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah.

Kata Kunci: pernikahan dini,perlindungan anak,batas usia

 Pendahuluan

Pernikahan dini disebutkan membawa efek negatif karena bisa meningkatkan dampak stunting hingga perkara kesehatan seperti kanker mulut rahim dan osteoporosis. 

Berdasarkan keterangan dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pernikahan dini di Indonesia bertambah semenjak tahun 2017 yang hanya 14,18 persen menjadi 15,66 persen pada 2018. Bahkan, pendemi yang sedang tejadi saat ini, tren pernikahan dini turut meningkat. 

Pada 2021, Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) mencatat, 64.000 anak di bawah usia mengajukan keringanan menikah selama wabah Covid-19. 

Sebelumnya, pemerintah semata-mata hamya mengatur batas usia minimal wanita untuk bernikah yakni 16 tahun. Aturan tercantum pada bagian dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 perkara Perkawinan . Kemudian, tiga tahun lalu UU tersebut direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019. 

Adapun dalam aturan baru tersebut, menyebut bahwa umur minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-lai. Hal ini sesuai dengan ketentuan Kemen PPPA, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 perihal Perlindungan Anak. 

Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa kategori anak yaitu mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun. Berdasarkan berbagai masalah diatas, artikel ini bertujuan untuk menelusuri dasar epistimologis perkawinan dini serta menguatkan argumen pentingnya pembaruan hukum keluarga islam, khususnya terkait menaiikkan batas minimal umur perkawinan.

Metode penelitian

Metode Penelitian ini termasuk analisis referensi dengan menggunakan metode deskriptif-kualikatif untuk menuturkan pandangan atau persepsi ulama mengenai perakawinan usia dini serta batas minimal usia menikah. 

Dari data yang muncul akan dianalisis guna melacak akar epistimologis perkawinan usia dini dalam islam dan mengelompokkan pendapat para pakar, serta akan menjelaskan mengenai batas usia menikah dalam hukum positif. Selanjutnya akan dianalisis menggunakan pendekatan teori muqoshid al-syariah.

Hasil analisis ini akan digunakan untuk menguatkan argumentasi bagi pembaharuan hukum keluarga islam khususnya yang berkenaan dengan hal meningkatkan batasan usia menikah.

 Hasil dan Pembahasan

Batas Usia Anak dalam Hukum Positif Indonesia

Hasil dan Pembahasan Batas Usia Anak dalam Hukum Positif Indonesia Berbagai undang-undang mengatur batas umur anak secara berbeda-beda. Perbedaan batasan yang diberikan berhubungan erat dengan dasar persoalan yang diatur. 

Pembatasan umur anak-anak merupakan cara negara melindungi warganya yang belum mampu mengemukakan pemikiran dengan tepat dan belum menyadarai balasan dari perbuatannya. Berikut ini sejumlah pengertian mengenai anak dalam peraturan di Indonesia, antara lain :

  • Undang- undang Nomor 11 Tahun 2012 perihal Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 yaitu Anak yang Berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah Anak yang telah berumur dua belas tahun, tetapi belum berumur delapan belas tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
  • Undang-undang Nomor. 4 Tahun 1979 perihal Kesejahteraan Anak, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) menakrifkan bahwa anak merupakan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah.
  • Undang-undang Nomor. 39 Tahun 1999 perihal Hak Asasi Manusia menguraikan pengertian perihal anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Pernikahan Dini dalam Pandangan Hukum Islam

Pernikahan dini kerap terjadi di kota maupun desa. Pernikahan dini ini sering sekali mengabaikan  peraturan pada UU perkawinan yang tersedia dalam pasal ayat 7 ayat (1). 

Padahal UU perkawinan tertera mengatur batasan umur. Batasan umur untuk laki-kaki sekitar 20 tahun dan wanita sekitar 16 tahun. Allah berfirman, "dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba hamba sahayamu yang perjaka dan yang perempuan" Al-Quran Surah An-Nur (24): 32.

Menurut ulama, yang dimaksud dengan layak yaitu kemampuan bagian dalam biologis. Artinya memiliki kemampuan untuk melahirkan keturunan. Pernikahan dini barang pasti menyangkut-nyangkutkan pasangan remaja yang sebenarnya masih belum patut. 

Namun, perkara tersebut masih terjadi karena berbagai faktor. Misalnya, ada yang di jodohkan oleh orang tua bahkan terdapat juga karena sudah terlanjur mengerjakan pergaulan bebas.

Ibnu Syubromah berpandangan tersangkut pernikahan yang dilaksanakan Nabi Saw dengan Aisyah yang waktu itu masih berumur 6 tahun. Ibnu Syubromah memperhitungkan perkara itu adalah ketentuan khusus untuk Nabi Saw. Yang tidak bisa ditiru atau dilaksanakan oleh umat Islam. 

Akan tetapi, menurut johar mayoritas hukum Islam memperkenankan pernikahan dini dan sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan para sahabat. Bahkan, sejumlah ulama melumrahkan perkara tersebut yang merupakan buah dari interpretasi Surat al-Thalaq ayat 4. 

"Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi menikahinya pada waktu beliau masih berumur 6 tahun, sebagai istri pada usia 9 tahun, dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula" [Hadis Muttafaq'alaihi).

Konsep Maqashid as-Syariah dalam Pernikmahan Usia Anak

Pernikahan di bawah usia dalam sudut pandang maqashid (tujuan-tujuan) al-Qur'an. Mengacu pada sejumlah bukti dari hasil penelitian, pernikahan dini ini melahirkan pengaruh negatif yang sangat besar. 

Dampak negatif tersebut pasti saja merisaukan terwujudnya perlindungan terhadap  jiwa, harta kekayaan, akal, agama bahkan keturunan. Tidak tersedia ayat Al-Qur'an yang secara cakap menyangkal pernikahan dini, namun adanya mafsadat yang tidak ringan. 

Usia yang masih prematur menjadi penyebab dari timbulnya mafsadat di atas, padahal ayat telah menyerahkan standar umur pernikahan (QS. Al-Nisa' [4]: 6). 

Dalam keadaan tertentu pernikahan di bawah usia tetap bisa menimbulkan faedah yang sepadan dengan tujuan luhur al-Qur'an, seperti diyakini bisa menjauhkan seseorang dari perilaku zina. Namun, setiap sisi positif dan negatif harus menjadi pertimbangan berlandasan nilai kepentingan yang hendak dicapai, termasuk yang bersangkutan dengan tingkatan maqashid: antara tujuan yang bersifat primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat) maupun tersier (tahsiniyat).

Kesimpulan

Berdasarkan artikel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa secara epistimologis, perkawinan dini merupakan hasil tafsir ulama' terhadap Al-Qur'an surat Ath-Thalaq [65]: 4 yang mengisyaratkan iddah bagi mereka yang belum haid. Islam tidak memberikan batasan umur ideal dalam pernikan. 

Perkawinan dapat dilakukan oleh calon mempelai yang belum atau sudah baligh jika telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Meskipun demikian, para ulama berpbeda pendapat tentang batas usia baligh bagi laki-laki dan perempuan serta kebolehan menikahkan seseorang pada usia anak-anak. 

Umat islam diperbolehkan memberikan batasan usia dalam menimbulkan kemaslahatan. Batas umur pernikahan perlu diperbaiki menimbang berbagai efek negatif yang terjadi akibat model pernikahan ini, misalnya perkara kesehatan reproduksi perempuan, perkara ekonomi keluarga, hingga perceraian. Model pernikahan seperti ini tidak dapat dipraktikan karena tidak sejalan dengan maqoshid al-nikah, yaitu membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Daftar Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun