Aku lahir dari keluarga dengan 3 (tiga) orang anak. Bapak seorang guru agama pada sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI). Seorang kakakku juga menjadi guru bahasa di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kakak iparku juga seorang guru agama, meskipun sekarang telah menjadi pengawas. Artinya, aku dilahirkan dari keluarga yang mayoritas pekerjaannya adalah guru.
Aku mungkin salah satu orang atau bahkan bisa jadi mungkin satu-satunya orang yang menyelesaikan pendidikan MI dalam waktu 5 (lima) tahun. Ketika kelas 1 (satu) sampai dengan kelas 3 (tiga) semua berjalan dengan normal. Sampai suatu hari, ketika aku kelas 4 (empat), catur wulan I (belum menggunakan sistem semester), pada saat habis pelajaran olahraga, aku bermain di lapangan. Tiba-tiba guru kelas 5 (lima) memanggilku masuk kelas, ternyata aku disuruh untuk mengerjakan soal matematika dan alhamdulillah, apa yang aku kerjakan benar.
Sejak kejadian tersebut, mulai catur wulan II aku dicoba untuk belajar di kelas 5. Kata guru kelasnya, kalau bisa mengikuti berarti “dinaikkan” ke kelas 5, kalau tidak kembali ke kelas 4. Alhamdulillah, aku bisa mengikuti pelajaran di kelas 5. Artinya, kelas 4 dan 5 aku jalani hanya dalam waktu 1 tahun. Entah benar atau tidak waktu itu, mengingat aku masih kecil, yang ada di pikiranku adalah mengikuti saja apa yang diinginkan oleh guru.
Sampai aku lulus MI, aku merasa belum suka dengan pelajaran matematika. Perubahan terjadi ketika aku SMP kelas 2 tahun pelajaran 1990/1991. Aku diajar oleh seorang guru matematika, meskipun perempuan, tapi suara sangat lantang ketika menjelaskan. Penjelasan dari guru tersebut juga mudah aku terima dan pahami. Saat itulah aku mulai merasa suka dengan matematika. Aku merasa pelajaran matematika menjadi sangat mengasyikkan. Hal ini berlanjut terus sampai pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan aku pernah diberikan Pekerjaan Rumah (PR), 1 buah soal matematika yang menantang bersamaan harinya dengan PR mata pelajaran lain. Karena aku sudah terlanjur suka dengan mata pelajaran matematika, sampai aku harus bertanya ke beberapa orang untuk membantu menyelesaikannya pun aku jalani, sehingga yang terjadi pada akhirnya PR mata pelajaran yang lain tidak sempat aku kerjakan. Esok harinya, di sekolah akhirnya aku diberikan hukuman karena tidak mengerjakan PR mata pelajaran tersebut. Seperti itu pun aku jalani.
Selepas aku lulus SMA, ketika mau masuk ke perguruan tinggi, aku memilih sendiri jurusan yang aku suka, yaitu matematika. Orang tua, kakak, dan keluarga menyarankan untuk memilih jurusan yang lain. Aku berusaha memberikan pengertian kepada mereka. Saat itu aku pun memilih tidak kependidikan, karena jujur waktu itu aku belum tertarik untuk menjadi seorang guru. Sampai aku lulus kuliah, aku pun berusaha untuk mencari pekerjaan yang bukan guru. Kalau guru, sejak kuliah pun sudah ditawari.
Target aku waktu itu adalah 1 tahun untuk mencari pekerjaan yang bukan guru. Sampai 1 tahun, ternyata aku belum dapat pekerjaan. Akhirnya aku masuk menjadi seorang guru matematika. Kepala sekolah menyarankan untuk mengambil Akta IV (waktu itu masih boleh). Aku ikuti saran itu, hingga aku akhirnya menjadi seorang tenaga pengajar sampai sekarang. Meskipun awalnya seperti sebuah keterpaksaan, sekarang aku benar-benar sangat menikmati pekerjaan ini. Kunikmati hari-hariku dengan mengajar sebaik-baiknya, membimbing peserta didik baik dalam kegiatan pembelajaran rutin maupun kegiatan khusus seperti olimpiade. Sebuah kebanggaan ketika melihat peserta didik bisa mencapai apa yang mereka targetkan.
Sebagai penutup, mungkin beberapa orang mengecilkan arti pekerjaan sebagai seorang guru, bagi saya orang itu seharusnya berpikir ulang dan panjang. Yakinlah, dengan keikhlasan, pekerjaan sebagai seorang guru pun akan dihitung mulia di mata Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H