"Di sana kau makan tiga kali sehari, kan?" tanya Ibu begitu melepas pelukan.
"Ibu bisa melihat dari badanku" jawab Maftuh dengan karakternya yang santai, senang bercanda.
Semuanya tersenyum. Tampaknya dia tak kurang makan meski harus menabung untuk kuliah dan sebagian dikirim ke rumah.
"Lanjutkan cinta-cintamu, Nak" dukung Bapak, menepuk pundak putranya.
Maftuh mengangguk dengan wajah penuh senyum. Ia segera teringat satu orang yang amat dirindukan. Mashud. Ia tak sabar ingin segera menemuinya.
"Oh iya, Mashud sudah pulang dari Jakarta, kan?"
"Tidak tahu." Jawab si Adik. "Mashud dan kedua orangnya pindah ke kota. Mas tidak tahu?"
"Tiga bulan terakhir ini kita belum komunikasi lagi. Apa alasan mereka pindah ke kota?"
"Bapaknya Mashud dapat warisan sawah dari orang tuanya. Jadi rumah yang di sini dijual untuk beli rumah di sana."
Maftuh kecewa. Mashud meninggalkan tanah kelahiran, pergi begitu saja tanpa memberi kabar. Sungguh tak menyangka dia sedingin itu. Tetapi meski begitu Maftuh meminta alamat rumah baru Mashud.
Keesokan harinya ia menaiki motor melintasi jalan utama yang setiap orang di desa itu lewati untuk ke mana saja: sawah, sekolah, pasar. Terkenang dulu menapaki jalan sepanjang dua kilo meter ke sekolah SD dengan jalan kaki.