Mohon tunggu...
Miftah Nazafa
Miftah Nazafa Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Mahasiswi Hubungan Internasional yang mendalami mengenai dinamika isu-isu global

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diskriminasi Berbasis Gender dalam Serial Drama "Do Bong Soon"

1 Mei 2017   19:43 Diperbarui: 1 Mei 2017   20:14 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang memiliki hak untuk hidup dalam rasa aman dan damai. Bebas dari ancaman yang dapat timbul dari berbagai elemen. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Rightstahun 1948 yang mengakui bahwa manusia adalahindividu yang menyandang status sebagai subjek hukum internasionaldisamping negara dan konsepsi mengenai HAM dapat terlihat dalam pasal 2,3 dan 5 yang menjamin pemenuhan hak manusia untuk merasa bebas dari ancaman, kekerasan tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, poltik, kewarganegaraan, kekayaan dan kelahiran (PBB, 1948). Sehingga tidak terkecuali bagi perempuan sebagai makhluk hidup memiliki hak untuk hidup dengan damai dan merasa aman. Perempuan berhak untuk mendapatkan perlindungan dan perilaku yang baik tanpa adanya diskriminasi. Hal ini dipertegas dengan kemunculan Deklarasi PBB mengenai Konvensi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada 1993 (PBB, 1981) yang mengatur definisi hingga pemenuhan hak bagi perempuan.

Akan tetapi, permasalahan kekerasan terhadap perempuan merupakan isu yang masih ada dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan tersebut dapat bersifat verbal maupun non-verbal. Kekerasan tidak hanya dapat dialami oleh laki-laki atau anak-anak saja akan tetapi kekerasan juga dapat terjadi perempuan. Perempuan rentan mengalami kekerasan terlebih dengan adanya pemetaan gender dalam masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan inipun berawal dari adanya diskriminasi terhadap perempuan yang dapat berbentuk subordinasi, beban kerja dan adanya pelabelan termasuk di dalamnya kekerasan itu sendiri. Hampir di seluruh dunia memiliki angka kekerasan terhadap perempuan yang masih mengkhawatirkan baik di Eropa, Australia dan Asia (PBB, 2016). Bahkan di bumi pertiwi, Indonesia, jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2016 berjumlah sekitar 259.150 kasus (Kompas, 2017). Jumlah yang terbilang banyak dan sangat meresahkan terlebih dengan dampak yang ditimbulkan baik terhadap kondisi psikologis maupun fisik para perempuan yang menjadi korban.

Adapun pembagian dan pembatasan terhadap pekerjaan yakni apa yang boleh dan tidak boleh antara perempuan dan laki-laki yang muncul dari adanya konstruksi sosial yang berasal dari nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Menurut Acker (Acker 1990; Adkins 1995 dalam Whelehan 2004) gender adalah proses pembagian kekuasaan dalam hubungan antara perempuan dengan laki-laki yang terbentuk dari adanya asumsi perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal kemampuan dan ketidakmapuan, dominasi dan eksploitasi, aksi dan emosi serta makna dan identitas. Karena gender merupakan hasil asumsi atau konstruksi sosial yang berasal dari budaya maupun kepercayaan, maka gender memiliki sifat yang dinamis dan sementara yakni dapat berubah. Artinya konstruksi perbedaan antara perempuan dan laki-laki di dua tempat yang berbeda dapat diputarbalikkan sesuai budaya dan kepercayaan masyarakat setempat. Adanya konstruksi sosial atau gender ini menjadikan perempuan dipandang sebelah mata apabila mengerjakan pekerjaan yang identik dengan laki-laki karena dianggap memiliki sifat yang keibuan, emosional dan lemah sehingga sepatutnya mengerjakan hal-hal yang sifatnya ringan dan bersifat feminis dibandingkan dengan laki-laki yang bekerja dalam sektor publik yang memiliki kapasitas untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang banyak dan dapat menjadi atasan dari pekerja perempuan.

Melihat fenomena kekerasan perempuan yang sangat banyak kasusnya tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kekerasan berbasis gender dalam serial drama Korea Strong Woman Do Bong Soon yang sedang menjadi tontonan hangat pemudi Indonesia saat ini. Karena tidak hanya mengandung cerita yang romantis khas anak muda namun dalam serial drama yang ditayangkan oleh JTBC tersebut, dibumbui juga dengan tema mengenai perempuan.

Pada awal cerita, dikisahkan bahwa pemain utama dari cerita ini yang bernama Do Bong Soon adalah seorang perempuan super kuat yang memiliki kekuatan di luar akal manusia. Dari sini, peran gender antara perempuan dan laki-laki yang bersifat sementara dan dapat ditukar, dapat dirasakan dengan jelas, karena Do Bong Soon memiliki kekuatan super yang mampu membantu orang-orang di sekitarnya dengan kekuatannya tersebut terutama yang berkaitan dengan kasus kriminalitas. Kekuatannya ini bahkan membuatnya kemudian dipekerjakan sebagai pengawal pribadi seorang CEO perusahaan game ternama bernama Ahn Min Hyuk, yang pada umumnya pengawal pribadi biasanya identik dengan pekerjaan laki-laki karena dianggap lebih mampu atau kuat secara fisik dalam menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitar orang yang dilindungi. Namun justru yang dimunculkan dalam drama ini adalah perempuan. Selama bekerja sebagai pengawal pribadi dari Ahn Min Hyuk, tanpa disadari oleh Do Bong Soon, meski memiliki kekuatan di atas laki-laki, ia mengalami beban kerja yang dikenakan oleh Ahn Min Hyuk, atasannya. Dalam beberapa adegan drama tersebut, beberapa kali Do Bong Soon diharuskan memasak makanan, menemani bermain game, serta bekerja di luar jam kerjanya. Sehingga sehari-hari Do Bong Soon mengalami diskriminasi dalam bentuk beban kerja yang disebabkan oleh Ahn Min Hyuk selaku bosnya karena ia tidak hanya bekerja di luar lingkup domestik atau rumah tangga namun juga melakukan pekerjaan yang berada dalam ranah domestik.

Bentuk diskriminasi terhadap perempuan dapat terlihat dalam episode lainnya. Dikisahkan meski Do Bong Soon memiliki kekuatan yang sangat kuat melebihi laki-laki, ia mengalami tekanan batin. Hal tersebut dipengaruhi oleh ketakutan akan anggapan masyarakat mengenai kekuatan yang dimilikinya yang dapat membuat semua orang takut padanya. Sehingga ia berusaha menutupi kekuatannya itu dari orang-orang luar yang mana hal tersebut  mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak kentara memiliki kekuatan super. Tidak hanya pelabelan negatif dari masyarakat, namun ia juga mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh ibunya sendiri karena ia dianggap berbeda, ia sering diperlakukan tidak adil serta seringkali dibanding-bandingkan oleh ibunya. Ibunya pun lebih sering memperhatikan adiknya Do Bong Ki, dibandingkan Do Bong Soon dari mulai hal remeh temeh seperti makanan hingga persoalan pendidikan.

Jika pada awal cerita para pemirsa disuguhkan dengan tontonan yang menyenangkan mengenai kekuatan dan juga konflik yang dimiliki Do Bong Soon maka di tengah-tengah cerita diselipkan pula cerita mengenai seorang psikopat yang melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kejahatan yang dilakukan oleh psikopat ini mendorong keterlibatan Do Bong Soon untuk mengusut sang pelaku setelah sahabat dekat Do Bong Soon menjadi salah satu korban dari kekerasan yang dilakukan si psikopat. Setelah diusut lebih lanjut, psikopat ini terinspirasi melakukan kekerasan terhadap perempuan di wilayah Do Bong Gu karena mengalami masalah kejiwaan dan semakin terilhami melakukan kekerasan terhadap perempuan dengan sering mendatangi sebuah teater berjudul ‘Janggut Biru dan ketujuh istrinya’. Teater tersebut mengisahkan mengenai penyiksaan yang dilakukan oleh si Janggut Biru terhadap ketujuh istrinya agar mau menuruti segala keinginan si Janggut Biru. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh si psikopat yang bernama Kim Jang Hyun dengan menangkap satu demi satu perempuan yang memiliki tubuh kurus dan pulang di kala malam hari. Perempuan dengan tubuh kurus akan memudahkan pelaku dalam melakukan penculikan yang berujung pada kekerasan karena identik dengan persepsi bahwa perempuan bertubuh kurus adalah perempuan yang lemah. Si psikopat juga menyerang targetnya di malam hari karena pada waktu tersebut merupakan waktu terbaik untuk menyekap para target setelah bekerja di luar seharian yang dapat terlihat dari pekerjaan para korbannya yakni sebagai guru, pelatih dan atlit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan tersebut diperparah dengan tidak banyak orang yang melakukan aktifitas di luar rumah pada malam hari.

Perempuan-perempuan tersebut mengalami kekerasan secara fisik dan psikologis. Hal tersebut dikarenakan Kim Jang Hyun menangkap para korbannya dengan menggunakan senjata tajam yang mengakibatkan luka fisik, memukul, menendang, menyuntik korbannya dengan obat penenang dan mengancam korbannya untuk mau menuruti segala keinginan Kim Jang Hyun. Kim Jang Hyun juga menyekap para korbannya di dalam sel yang jauh dari keramaian yang dapat dijangkau oleh orang-orang. Tak hanya itu, ia juga melakukan pengawasan non-stop dari ruangan khusus dipenuhi kamera CCTV yang dimilikinya, apabila perempuan-perempuan tersebut mencoba melakukan usaha meloloskan diri.

Dampak dari diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan yang terepresentasi dalam serial drama Do Bong Soon tersebut, tidak hanya terjadi dalam dunia maya saja. Akan tetapi juga banyak dialami oleh perempuan-perempuan di dunia nyata. Mereka dihadapkan oleh kenyataan yang memaksa mereka baik itu bekerja maupun karena tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar perempuan yang merugikan perempuan itu sendiri dalam hal psikologis dan fisiknya. Sehingga serial drama ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang menimpa perempuan di dunia meski diwarnai pula dengan cerita fiktif.

Dalam diskriminasi yang menimpa perempuan, pemerintah memiliki peran yang besar terkait pemenuhan HAM bagi perempuan. Bagi negara-negara yang telah meratifikasi CEDAW (Convention on All Forms of Discrimination Against Woman) seperti Indonesia, memiliki tanggung jawab yang lebih besar, mengingat populasi perempuan yang mengalami peningkatan dan membuat pemerintah memerlukan kerja keras untuk dapat mewujudkan kesejahteraan, rasa aman, serta menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Misalnya pemerintah merumuskan dan membuat kebijakan dalam bentuk UU yang melindungi hak-hak perempuan dan meimplementasikan ratifikasi dari CEDAW. Selain itu, perempuan juga memiliki tanggung jawab serupa dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi kaumnya. Diperlukan peran aktif perempuan tidak hanya dalam ranah domestik namun juga hingga ruang publik seperti keberanian melaporkan tindak diskriminasi kepada pihak berwenang, meningkatkan kesadaran terhadap tindak diskriminasi. Usaha perempuan juga dapat dilakukan dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemerintahan untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan perempuan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang pro pada perempuan yang mendorong pada proses penciptaan pembangunan yang lebih baik bagi perempuan.   

                                                 

Referensi :

DCAF. 2010.Gender and Security Sector Reform tersedia dalam http://www.dcaf.ch di akses pada 26 April 2017

Apriani, Fajar. 2013. Berbagai Pandangan Mengenai Gender dan Feminismetersedia dalam http://www.portal.fisip-unmul.ac.id di akses pada 26 April 2017

PBB. 1948. Universal of Human Rights Declaration tersedia dalam http://www.un.org/ di akses pada 29 September 2016

PBB. CEDAW (Convention on All Forms of Discrimination Against Woman) tersedia dalam http://unwomen-asiapacific.org di akses pada 26 April 2017

PBB. 2016. Gender Statistics tersedia dalam https://unstats.un.org di akses pada 26 April 2017

Kompas. 2017. 2016, Ada 259.150 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan tersedia dalam http://nasional.kompas.com di akses pada 26 April 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun