"Sudah lama ya?" Tanyaku sambil mengambil posisi duduk bersebrangan dengannya.
"Ah, nggak juga kok?" Jawabnya dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
"Oh ya, kamu mau pesan apa?" lanjutnya kemudian.
"Samakan aja". Jawabku, singkat.
"Ternyata kamu lebih cantik juga ya aslinya". Puji Wendy yang kubalas dengan senyum yang dipaksakan. Dari lagaknya, Wendy mulai menangkap sinyal-sinyal tak nyaman dariku. Tak secair biasanya, bahkan terkesan canggung dan kaku. Seolah tak pernah saling mengenal sebelumnya, atau lebih tepatnya aku yang tak menginginkan pertemuan ini terjadi. Kalau tak mengingat pengorbanannya yang rela datang jauh-jauh untuk aku, sudah pasti beribu alasan akan kujadikan senjata untuk menghindari pertemuan ini.
"Kayaknya kamu nggak senang ketemu aku  ya?" Tanya Wendy dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan. Benar saja, sejak sorot matanya menangkap siluetku, aku sudah paham akan tatapan cinta yang ia berikan. Hanya orang bodoh yang tak menyadari itu. Namun aku berusaha tak peduli dan abai terhadapnya. Kini kulihat tatapan cinta itu kian meredup, dan sarat akan kekecewaan.
"Ah biasa kok. Meski pun kita sudah lama kenal, tapi ini pertemuan pertama kita kan?" Hehe biasalah kalau agak canggung". Katanya mencoba mencairkan suasana, atau lebih tepatnya menguatkan diri akan segala praduga yang menghantuinya.
"Hmmm..." Lagi-lagi kubalas dengan senyum yang kupaksa semanis mungkin. Khawatir dia bisa jadi menangis di keramaian ini dan penyebabnya adalah aku sendiri.
   Seorang pramusaji datang membawa pesanan kami. Lalu acara makan dan minum pun dimulai. Hanya suara sendok, garpu, piring, dan gelas beradu yang menemani. Tanpa ada sepatah kata, bahkan kupikir kami sampai lupa bernapas saking tidak ada interaksi yang terjadi. Kulihat Wendy tergesa-gesa menghabiskan hidangannya. Matanya pun berkaca-kaca. Tadinya kukira dia kepedasan. Akan tetapi yang tersaji di depannya hanyalah sepiring kecil Cheesecake dan secangkir kopi susu.
"Apa lidahnya kepanasan? Gara-gara minum kopi susu yang masih mengepul". Monologku dalam hati.
"Kupikir kamu bakalan antusias banget ketemu sama aku. Tapi dari caramu sudah menegaskan bahwa tak sesuai ekspektasiku. Makasih udah mauu ketemu sama aku. Sepertinya udah nggak ada alasan lagi buatku berlama-lama di sini. Tadinya aku mau sampai kita menikah. Tapi hahaha gagasan itu baiknya kubungkus aja. Besok aku  mau balik lagi ke Halmahera". Kata Wendy sarat akan kesedihan. Aku gelagapan atas respon Wendy yang begitu tepat sasaran. Akan tetapi, ada yang perih di dalam sini. Wahai hati, bukankah ini yang kau inginkan? Kenapa harus merasa perih? Kenapa harus merasakan sakit? Sungguh aku tak mengerti apa maunya hati ini.