Mohon tunggu...
Miftah Hilmy Afifah
Miftah Hilmy Afifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis dan halu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanda Tangan

20 April 2023   14:38 Diperbarui: 20 April 2023   14:40 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karya: Miftah Hilmy Afifah

***
Akhirnya masa itu datang juga. Dulu, saat masih sekolah di Sekolah Luar Biasa, seribu alas an selalu kulontarkan agar terhindar dari yang namanya tanda tangan. Selain tidak bisa membuat tanda tangan yang bagus dan rumit, tangan yang selalu gemetaran kala pulpen berada di antara telunjuk dan ibujari juga menjadi pokok masalah yang sebenarnya. Bukankah tanda tangan itu penting? Apa lagi di zaman ini. Pertanyaan yang bagus! Saat masih di Sekolah Luar Biasa, aku selalu menyepelekan yang namanya tanda tangan. Meski beberapa guru berkali-kali menyarankan agar aku belajar membuat tanda tangan sendiri, kemudian menghafalkan gerakan tangan, agar tak mengubah bentuk tanda tangan. Tapi, selagi cap jempol masih berlaku, meski sudah tak lazim lagi digunakan, bagiku tak masalah tak memiliki tanda tangan, "Kan, masih ada cap jempol!" Batinku.

"Kalian ini seperti hidup di jaman baheula! Jaman sekarang nyaris tidak ada orang pakai cap jempol, sudah jarang! Orang sekarang kebanyakan sudah pakai tanda tangan." Kata Bu Lala seraya menuntun jempolku untuk menempelkan sebuah tanda pada tempat yang telah disediakan pada selembar kertas yang tentunya namaku bertengger di sana.

"Ya mau gimana, Bu? Kami kan tunanetra, tanda tangan yang kami buat kan tidak bisa kami lihat. Bagaimana kalau tanda tangannya sekali-kali berbeda? Apalagi tangan kami yang tidak biasa memegang pulpen, gemeteran tangan kami dibuatnya." Sahutku mewakili teman-teman sekelas, seolah jawaban itu telah kami rundingkan di dalam hati kami masing-masing.

"Suatu saat tanda tangan itu pasti akan sangat dibutuhkan, dan cap jempol itu tidak bisa menjadi penawar. Kalian pun mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, pasti akan menurutinya pula. Karena kalau tidak, akan kesusahan kalian nantinya." Kata Bu Lala membuat bungkam.

"Sewaktu kuliah dulu, Ibu punya teman tunanetra juga. Tapi dia bisa kok membuat tanda tangannya sendiri, dan tanda tangannya pun selalu pas, tidak pernah berubah. Itu karena tangannya sudah sering dilatih, jadi terbiasa." Lanjut Bu Lala setelah beberapa saat terdiam.

Awalnya, aku sulit percaya dengan yang diceritakan Bu lala. Kupikir Bu Lala sedang membual. Sebab, sebelum omongan itu terbukti, aku tak akan percaya. Mustahil!

Setiap aku mengikuti kegiatan, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, entah itu kegiatan lomba ataupun sosialisasi, Biasanya setiap peserta diharuskan membubuhi tanda tangannya pada kolom yang telah disediakan, entah untuk apa? Aku pun tak tahu dan tak mau tahu. Mungkin sebagai bukti kehadiran? Entahlah. Lantaran tidak tahu menggoreskan tanda tangan, guru pendampinglah yang berperan mewakili tanda tanganku. Daripada repot mencari steples, atau juga malu minta sama panitia. Ahh ... itulah kalau di sekolahku, muridnya selalu dimanjakan.

Tapi sekarang keadaannya telah berubah. Aku telah keluar dari zona nyaman itu. Sekarang bukan saatnya untuk mengemis agar diberi kemudahan, dalam artian mengandalkan kekurangan fisik sebagai alas an agar diberi kemudahan, kenyamanan, mengharap iba dan kasihan untuk selalu diperhatikan. Apa yang pernah dikatakan oleh guru-guruku, kini terjawab sudah.

Kemarin, saat mengisi data-data untuk masuk perguruan tinggi, tak kusangka tanda tanganku dibutuhkan. Awalnya aku bingung harus bagaimana, rasanya malu jika harus meminta steples untuk mencetak cap jempol. Karena sebelumnya saat saudaraku hendak mengisi data-dataku, lalu lupa membawa pulpen. Mau pinjam sama petugas di loket, katanya pulpennya lagi dipakai. Padahal tidak sampai sepuluh menit untuk mengisi data andaikan dipinjamkan. Alhasil, saudaraku harus berkeliling untuk mendapat pinjaman pulpen. Sekarang, baru aku kepikiran mengapa saudaraku itu tidak membeli pulpen saja? Daripada memusingkan diri hilir mudik meminjam pulpen. Satu dua alas an bisa saja berlaku, entah mungkin jauh dari tempat jual pulpen, atau mungkin dekat, hanya saja sedang tutup, atau mungkin juga tidak terlihat.

Seusai mengisi data-dataku, sekonyong-konyong ia memintaku menandatangani kertas itu.
"Aku tidak bisa membuat tanda tangan." Jawabku seraya menggelengkan kepala, sementara dalam hatiku memikul rasa malu yang teramat sangat.
"Jadi, selama ini gimana dong kalau disuruh tanda tangan?" Tanyanya tanpa menyembunyikan heran.
"Aku pakai cap jempol," Kujawab jujur, meski sebenarnya malu.

Akhirnya menit itu juga aku harus membuat tanda tangan, tidak sulit, setidaknya supaya gampang diingat. Berkali-kali tanganku dituntun, berkali-kali juga tanganku harus menanggung rasa gemetar dan berkeringat. Membuat satu tanda tangan saja rasanya bagaikan membuat sebuah kaligrafi, memegang sebatang pulpen saja rasanya seperti sedang memegang sebatang pena emas, yang membuatku takut salah tulis, takut salah pegang sehingga membuatnya patah, dan takut-takut lainnya. Padahal hanya sebatang pulpen biasa dan tanda tangan sederhana. Tapi itulah pengalaman pertama, rasa takut salah pasti ada, meski sebenarnya jangan dipelihara. Kalau tidak dicoba dan diusahakan, kapan bisanya?
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun