Mohon tunggu...
Dr. Miftahur Rahman El-Banjary
Dr. Miftahur Rahman El-Banjary Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Buku-Buku National Bestseller di Kompas Gramedia, Republika, Motivator Muslim, Entrepreneur.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ternyata Indonesia Memiliki Potensi Zakat Terbesar di Dunia

1 Agustus 2013   12:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:45 5265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_278795" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ternyata memiliki potensi zakat terbesar pula. Berdasarkan hasil penelitian IPB yang bekerjasama dengan BAZNAS Indonesia memiliki potensi 217 triliun dari hasil pengumpulan zakat setiap tahunnya. Hasil riset ini tentu mencengangkan.

Jika kita bandingkan dengan potensi zakat di beberapa negara Islam tentunya potensi kita jauh lebih besar. Pada tahun 2000 dan 2002, potensi zakat di Jordania, Kuwait dan Mesir sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai Gross Domestic Product (GDP) mereka, bahkan dapat diabaikan karena sangat tidak signifikan.

Selanjutnya, potensi zakat Arab Saudi mencapai 0,4 persen-0,6 persen dari total GDP mereka. Khusus untuk Pakistan, potensi zakat mencapai 0.3 persen dari GDP, dan Yaman memiliki potensi hingga 0,4 persen dari total GDP. Jika dilihat sekilas, nampak bahwa potensi zakat masih sangat kecil. Sedangkan potensi zakat Indonesia mencapai Rp19 triliun atau 0,95 persen dari GDP Indonesia.

Jika kita menggunakan asumsi bahwa potensi zakat adalah sama dengan 2,5 persen dikali dengan total GDP, menemukan bahwa potensi zakat Turki mencapai angka 5,7 miliar dolar AS. Sedangkan potensi zakat Uni Emirat Arab dan Malaysia masing-masing sebesar 2,4 miliar dolar AS dan 2,7 miliar dolar AS. Total potensi zakat seluruh negara-negara Islam minus Brunei Darussalam adalah sebesar 50 miliar dolar AS. Dari sisi realisasi, secara umum dana zakat yang berhasil dihimpun oleh masing-masing negara masih sangat kecil.

Indonesia sebagai contoh, hanya mampu menghimpun 800 miliar rupiah pada tahun 2006 lalu, atau 0,045 persen dari total GDP. Malaysia pun pada tahun yang sama hanya mampu mengumpulkan 600 ringgit, atau sekitar 0,16 persen dari GDP mereka. Dari data riset ini menunjukkan betapa Indonesia masih unggul dari hasil pengumpulan diantara negara-negara besar Islam di dunia.

Meskipun Indonesia memiliki potensi zakat hingga 217 trilun pertahunnya, namun faktanya pada tahun 2010 BAZNAS hanya mampu mengumpulkan sekitar 1,5 triliun saja dan meningkat pada tahun 2012 hingga 1,7 triliun meskipun telah diprediksikan mencapai 2 triliun, namun hasil itu belum mencapai target.

Perolehan hasil zakat yang diperoleh 1,7 triliun itu jika benar-benar dikelola dengan baik dan tepat sasaran pasti akan mampu mengentaskan kemiskinan, paling mengurangi. Sejumlah riset telah membuktikan pengaruh zakat dalam perekonomian, terutama terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan.

Kita bisa melihat program zakat di Pakistan mampu menurunkan kesenjangan kemiskinan dari 11,2 persen menjadi 8 persen. Begitupula peran zakat dalam mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di Malaysia. Dengan mengambil sampel negara bagian Selangor. Hal Ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat yang baik dan terencana mampu mengentaskan kemiskinan, paling tidak menguranginya.

Kita bisa melihat sejarah pada masa kejayaan Umayyah pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid dimana khalifah sulit sekali mencari mustahiq (penerima zakat) lantaran sulit mencari orang yang miskin. Kas negara diperoleh dari uang zakat.

Nah, pertanyaannya apakah lembaga amil zakat yang dikelola oleh pemerintah benar-benar memiliki program pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran? Apakah zakat yang diberikan hanya dalam bentuk mata uang ataukah dikelola lebih produktif.

Saya berpendapat alangkah lebih efektifnya sekiranya dana zakat itu dipergunakan sebagai:

ï‚·Social Guarantee: masyarakat miskin diberikan jaminan kesehatan untuk berobat atau mendapatkan pelayanan pendidikan.

ï‚·Social Safety, dana zakat juga dipergunakan untuk membantu korban bencana alam, kebakaran, banjir dan lain-lain.

Social Insurance, zakat memberi ruang harapan bagi masa depan terutama kelompok faqir miskin akan kesejahteraannya di hari tuanya. Kalau kelompok kaya bisa merencanakan masa depan karena adanya kekayaan yang ada ditangannya, bagaimana dengan  kaum miskin akan harapan masa depannya.

Apakah hal itu mungkin? Ya, mungkin saja! Tidak usah dulu dana zakat yang berjumlah 1,7 triliun itu, jika infak yang digali bisa mencapai 10 persen saja dari GDP, maka potensi dana yang dapat dihimpun akan mencapai angka 200 miliar dolar AS, setara dengan total asset yang dimiliki oleh IMF.

Jika demikian sedikit demi sedikit masyarakat fakir miskin bisa merasakan kemanfaatan dari zakat. Jika masih banyak masyarakat miskin yang belum bisa merasakan hak pendidikan yang setara, hak kesehatan yang sama, serta kesejahteraan yang merata, maka perlu kita pertanyakan kemana saja dana zakat selama ini?

Kembali kepada muzakki yang berkewajiban mengeluarkan zakat. Faktanya, ternyata masyarakat kita lebih senang membagikan zakatnya sendiri secara personal dan langsung ke mustahiq-nya. Tentu hal ini tidak keliru. Namun, jika zakat diserahkan tanpa pengelolaan dan manajemen yang tepat, maka hasilnya dana umat tidak efektif, tidak terkumpul secara kolektif, sehingga tidak memiliki kekuatan power untuk mengentaskan kemiskinan secara riil.

Lebih-lebih pembagian zakat secara langsung justru seringkali menimbulkan korban. Seperti beberapa kasus pembagian zakat di Jawa yang menyebabkan beberapa korban terjepit, pingsan, bahkan meninggal dunia lantaran berdesak-desakan.

Padahal jika kembali ke masa Rasulullah Saw. Nabi Saw sendiri menunjukkan para pengumpul zakat yang bertugas untuk mengelola zakat secara kolektif, seperti Muadz bin Jabal sebagai qadhi di Yaman. Begitupula pada masa Khulafaur Rasyidin, pengelolaan zakat dikelola langsung oleh para khalifah. Bahkan Abu Bakar yang langsung memerangi orang yang enggan membayar zakat.

Walhasil, jika pada saat ini pengelolaan dikelola oleh lembaga resmi negara seperti BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) atau BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah) maupun lembaga zakat swasta seperti Rumah Zakat benar-benar disalurkan pada program pengentasan kemiskinan dan kebodohan secara konsisten, kita akan melihat perubahan yang sigfinikan 5 hingga 10 tahun mendatang. Tinggal lagi seberapa profesional dan produktifkah pengelolaan dana umat itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun