Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min, penanggung disebut muammin, tertanggung disebut muamman lahu atau musta’min, At-ta’min diambil dari amana yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Pengertian dari at-ta’min adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang sebagaimana yang telah disepakati atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang
Mustafa Ahad az-Zarqa memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya. Ia berpendapat bahwa sistem asuransi adalah sistem ta’awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut.
Meski tidak dapat dipastikan kapan praktik asuransi mulai ada dalam sejarah Islam, namun berdasarkan berbagai kontrak asuransi hari ini dapat dikatakan bahwwa praktek asuransi sudah dikenal sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW dan sejak saat itu secaara lambat laun berkembang hingga abad ke-19. Kita dapat menyaksikan saat ini pendirian dan pengelolaan sejumlah perusahaan asuransi Islam di beberapa negara-negara Islam dan non-Islam. Perkembangan asuransi syariah dapat diklasifikasikan kedalam enam tahapan berikut
Praktek Al-Aqilah sebagai adat kebiasaan suku-suku Arab Kuno
Banyak ensiklopedi Islam yang membenarkan fakta bahwa praktek asuransi syariah berasal dari adat suku-suku Arab kuno, dimana pada saat itu disebut dengan Al-Aqilah. Praktek tersebut merupakan kebiasaan di dalam suku Arab kuno bahwa ketika seorang anggota suku terbunuh oleh seorang anggota suku lain, maka keluarga korban akan dibayar dengan sejumlah uang darah sebagai kompensasi keluarga dekat si pembunuh. Para keluarga dekat atau al-aqilah diharuskan membayar uang darah atas nama si pembunuh
Mnurut Dr Muhammad Muhsin Khan, kata ‘aqilah bermakna ‘asabah yang berarti garis keluarga ayah dari pihak sipembunuh . Sehingga ide utama aqilah adalah bahwa suku-suku Arab kuno harus selalu siap untuk memberikan sumbangan finansial atas nama si pembunuh sebagai kompensasi bagi keluarga korban. Kesiapan untuk membayar kompensasi ini dapat disamakan dengan premi asuransi pada saat ini, sedangkan kompensasi yang dibayarkan kepada keluarga korban mungkin dapat disamakan dengan ganti rugi dalam praktek asuransi modern. Sebagai sebuah bentuk perlindungan finansial bagi keluarga korban.
Praktek Nabi SAW
Perkembangan praktek asuransi pada masa Nabi Muhammad SAW berkembang melalui dua situasi;
=> Penerimaan praktek aqilah sebagai kebiasaan suku arab kuno
Dibuktikan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Huraira ra yang berkata bahwa;
“suatu ketika ada dua perempuan dari suku Huzaili berseteru ketika salah seorang diantara mereka memukul salah seorang lainnya dengan sebuah batu yang membunuh salah seorang perempuang berikut janin yang dikandungnya. Keluarha korban membawa kasus ini kepada pengadilan Nabi Muhammad SAW yang memberikan sebuah keptusan bahwa kompensasi bagi kematian bayi adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau perempuan, sedangkan kompensasi bagi kematian perempuan tersebut adalah uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilah (keluarga dari garis ayah) dari si pembunuh.”
=> Beberapa ketetapan yang terkandung dalam konstitusi pertama Madinah tahun 622 M.
Konstitusi pertama di dunia Islam tersebut disusun oleh Nabi Muhammad SAW tidak lama setelah hijrah ke Madinah. Konstitusi tersebut diperuntukkan bagi penduduk Madinah,(Muhajirin, Anshar, Yahudi dan Kristen). Dalam konstitusi ini asuransi diperkenalkan dalam beberapa bentuk seperti;
> Melalui praktek al-diyah
Al-diyah atau uang dara harus dibayarkan oleh aqilah kepada keluarga korban untuk menyelamatkan si pembunuh dari beban hukum pasal 3 konstitusi Madimnah menyatakan bahwa
“ kaum muhajirin dari suku Quraisy akan bertanggungjawab atas perkataan mereka dan akan membayar uang darah dalam bentuk kerjasama antar mereka”
>Melalui pembayaran fidyah
Nabi Muhammad SAW juga melaksanakan ketetapan pada konstitusi awal tersebut yang berkaitan dengan menyelamatkan nyawa para tawanan dan beliau menyatakan bahwa siapa saja yang menjadi tawanan perang musuh, maka al-aqilahdari tawanan tersebut harus membayar tebusan kepada musush untuk membebaskan tawanan tersebut. Pembayaran tebusan semacam ini dapat dipandang sebagai bentuk lain dari asuransi soaial.
>Dengan cara asuransi sosial lainnya termasuk dalam konstitusi awal ini
Pasal 4-20a konstitusi Madinah menyatakan bahwa masyarakat akan bertanggung jawab untuk membentuk sebuah usaha bersama melalui prinsip salikng kesepahaman dalam menyediakan bantuan dan pertolongan yang diperlukan bagi orang-orang yang membutuhkan, sakit dan miskin
Praktek para sahabat
Perkembangan lebih jauh lagi dalam praktik transaksi berbasis asuransi dapat dilihat pada masa khalifah kedua, Sayyidina Umar ra. Pada periode kepemimpinannya, pemerintah mendorong para penduduk untuk melakukan al-aqilah secara nasional. Belaiau memerintahkan didirikannya sebuah Diwan Mujahidin di beberapa distrik dan siapa saja yang namanya tercatat dalam Diwan harus membayar uang darah akibat melakukan pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang dalam suku mereka
Dengan cara ini, penerapan doktrin al-aqilah dan beberapa elemen praktik asuransi konvensional dikembangkan lebih jauh pada masa pemerintahan Khalifah Sayyidina Umar ra.
Perkembangan pada abad 14-17
Selama kurun waktu antara abad ke-14 dan 17, sebuah aliran sufi, kazeruniyya, berkembang di beberapa kota pelabuhan di Malabar (lepas pantai India) dan Cina. Kelompok ini mengelola semacam perusahaan asuransi perjalanan laut.
Para pedagang, saat berlabuh dalam perjalanan lait dari Cina ke Malabar akan menandatangani sebuah catatan di mana dia mencantumkan sejumlah uang yang dia janjikan untuk membayarnya kepada aliran sufi ini agar mendapatkan keselamatan pada tempat yang ditujunya pada waktu kapalnya sampai, seorang agen (atasnama aliran sufi ini), akan naik ke atas kapal dan mengumpulkan sejumlah uang yang sudah dijanjikan oleh para penumpang.
Perkembangan abad 19
Selama abad ke 19, Ibn Abidin 91784-1836M), seorang ahli hukum mazhab Hanafi mendiskusikan ide asuransi dan dasar-dasar hukumnya. Beliau adalah orang pertama yang meliht asuransi sebagai sebuah lembaga resmi, bukan sebagai praktek adat.
Pendapat-pendapat Ibn Abidin merupakan pembuka mata bagi orang Islam yang belum menerima legalitas praktik asuransi. Ide-idenya kemudian mendororng orang Islam lainnya untuk menerima ide pelibatan dalam bisnis asuransi. Klingmuller menyatakan bahwa sejak saat itu orang-orang Islam mulai menerapkan asuransi tidak hanya dengan membelinya dari perusahaan asing, tapi mereka juga mendirikan perusahaan-perusahaan asuransi sendiri dan menjadi pihak penanggung sendiri.
Perkembangan abad 20
Pada abad 20, seorang ahli hukum Islam terkenal Muhammad Abduh mengeluarkan fatwayang melegalkan praktik asuransi. Dalam fatwanya Abduh menggunakan beberapa sumber untuk menyatakan mengapa dia memperbolehkan praktik asuransi jiwa. Salah satu fatwanya memandang hubungan antara pihak tertanggung dan pihak asuransi sebagai kontrak mudharabah. Fatwa yang laing melegitimasi sebuah model transaksi yang sama dengan wakaf asuransi jiwa
Refrensi:
AbdulAziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,2000)
MohdMa’sum Billah, Kontekstualisasi Takafuldalam Asuransi Modern; Tinjauan Hukum dan Praktek, alih bahasa Suparto, (Malaysia: Sweet and Maxwell Asia, 2010)
MuhammadMuhsin Khan, The Translation of TheMeaning of Shahih Bukhari Arabic-English, (Saudi Arabia: Darussalam, 1997),Vol 9
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H