Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

3 Kali Gagal Naik Kelas karena Disabilitas Belajar

7 Desember 2021   20:47 Diperbarui: 7 Desember 2021   21:00 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba ingatanku tertuju kepada seorang kawan saat duduk di bangku SD tahun 1990 an. Dia bukan anak pemalas. Dia bukan anak yang nakal. Namun, entah mengapa dia sering gagal naik kelas hingga tiga kali.

 Memang, terkadang pada musim tertentu dia memilih tak berangkat sekolah, karena lelaki kecil itu  lebih memilih menjadi buruh tani: menanam jagung, menanam tembakau,  atau palawija di sawah milik tetangga. 

Menurut pola pikirku saat aku kecil, yang dilakukan temanku itu wajar, mengingat dia anak dari keluarga yang tidak mampu.

 Menjadi buruh tani di usia belia adalah pilihan untuk menyambung hidup, sekaligus upaya mencari uang untuk biaya pendidikan dan membeli peralatan sekolah. 

Ayah dan ibunya pekerja serabutan. Lebih sering mencari kayu bakar yang biasa dijual di pasar desa dua kali dalam sepekan. Itupun dengan hasil uang yang tak seberapa, sekadar mencukupi kebutuhan perut sekeluarga.

Tentu bukan karena alasan dia meninggalkan bangku sekolah karena menjadi buruh tani menjadi sebab dia sering tidak naik kelas. 

Kami adalah anak pedesaan di Kabupaten Grobogan. Tahun 1990 an masih lumrah penduduk desa menggunakan kayu bakar dan tungku untuk memasak. 

Kembali tentang temanku itu, seingatku dia menjadi teman sekelasku saat kami kelas 6 SD. Orangnya berbadan lebih bongsor ketimbang teman sekelas. Wajar, karena dia berusia lebih tua 3 tahun dari kami teman sekelasnya.

Aku tak begitu dekat dengannya pada awal tahun ajaran baru. Barulah pada catur wulan kedua dia sebangku denganku. 

Keanehan terjadi ketika kuperhatikan buku tulisnya. Kulihat tulisan tangan di bukunya amburadul dan tidak bisa dibaca. Susunan hurufnya kacau dan disingkat-singkat tidak jelas. 

Dia cenderung tidak bisa mengenali huruf dan nyaris tidak bisa membaca. Teman-teman kadang melabeliny a sebagai anak yang bodoh. Ia bahkan tidak bisa menyusun huruf sesuai abjad dan menulis angka secara berurutan. Namun, di balik keterbatasannya dia bisa menghapal urutan huruf dan angka.

Barulah saat aku mulai kuliah menyadari apa yang dialami temanku itu adalah disleksia.

Disleksia = Disabilitas Belajar

Dilansir dari Tempo.co (23/02/2019), ragam disabilitas meliputi mental dan intelektual. Beberapa tanda penyandang gangguan ini kadang sulit terdeteksi, tidak terlihat, terkadang penyandang disabilitas itu sendiri tidak menyadari kondisi yang dialaminya. 

Disleksia yang dialami teman saya bisa jadi karena pada tahun itu (1990 an) gangguan belajar ini belum menjadi wacana perkembangan dunia pendidikan di daerah kami. Guru tidak menyadari jika ada murid yang mempunyai daya tangkap belajar yang berbeda. Teman-teman yang mencemoohnya barangkali juga tak sadar jika tindakannya kurang tepat.

Disleksia termasuk disabilitas dalam belajar. Anak penyandang disleksia mengalamu kesulitan membaca disebabkan gangguan mengidentifikasi suara dan cara menuliskannya ke dalam susunan huruf. Dilansir dari mayoclinic.org, disleksia juga disebut disabilitas membaca, karena disleksia mempengaruhi bagian otak yang memproses bahasa. (Liputan6.com, 18/12/2019).

Anak penyandang disabilitas disleksia perlu mendapat pendampingan yang optimal agar "kekurangannya" itu tidak menghambat belajar dan proses kehidupan di masa depan.

Lingkungan yang tidak menyadari  keterbatasan anak tersebut turut membuat andil jika anak tersebut tertekan atau bahkan membuatnya putus sekolah. Guru dan orang tua juga patut mengenali kondisi murid/ anak apabila terjadi keterlambatan proses penerimaan pembelajaran di sekolah.

 Jika ada anak dengan kondisi disleksia maka perlu dibimbing secara tepat ditunjang fasilitas untuk mengatasi keterbatasan mereka. Tentu dengan metode dan pendekatan  yang berbeda atau edukasi khusus

Bukan tak mustahil jika bisa teratasi, anak disleksia bisa mengeluarkan bakat dan potensi terbaiknya. 

Edukasi Khusus Penyandang Disleksia

Anak penyandang disleksia memerlukan pendekatan edukasi khusus. Dirangkum dari Halodoc.com, edukadi khusus yang diterapkan disesuaikan dengan tingkat keparahan gejala disleksia dan hasil tes psikologi.

Kemampuan fonologi, yakni kemampuan pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia, memahami huruf dan susunan huruf yang membentuk bunyi tersebut, memahami bacaan, membaca cara membunyikan kata, hingga membangun kosakata.

Tentu bukan perkara mudah mengatasi disleksia, apalagi dapat teratasi secara instan. Butuh waktu dan proses yang menguji kesabaran dan ketelatenan bagi orang tua.

Apabila anak sudah terdeteksi mengalami disleksia, orang tua perlu bekerja sama dengan pihak sekolah dan guru. Jika dimungkinkan bisa dilakukan dengan serangkaian tes psikologi dan tes umum. 

Orang tua disarankan konsultasi dengan ahli yang berkecimpung di bidangnya agar masalah bisa teratasi dan anak bisa nyaman dalam proses belajar. (Miv).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun