Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gara-Gara Corona, Pulang Risau Tak Pulang Rindu

18 April 2020   08:07 Diperbarui: 18 April 2020   08:50 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh tidak mudah menjadi perantau di tengah musibah virus corona/ covid 19 yang belum kunjung terdeteksi kapan berakhir. Saya mengalami kerisauhan yang teramat mencekam, jauh dari kampung halaman dan terpaksa tetap bekerja di situasi penuh ketidakpastian di kota Solo, kota yang tercatat  berstatus zona merah persebaran virus corono atau covid 19. 

Anjuran agar #stayathome, #dirumahaja, #workfromhome, #kerjadarirumah sungguh sangat menggiurkan bagi saya. Anjuran yang terlalu mewah untuk orang-orang kecil seperti saya. 

Kata pepatah Jawa "Ora obah, ora mamah" (tidak bergerak/bekerja, tidak bisa makan). Begitulah nasib orang-orang kecil, berpenghasilan kecil pula. Gaji sebulan hanya bisa mencukupi kebutuhan bulan itu juga, terkadang malah kurang. 

Harus pintar menyisihkan sebagian penghasilan. Sehari saja tidak bekerja bakal merusak rantai kebutuhan kehidupan.

Ingin sekali saya tinggal di rumah saja, tidak ke mana-mana, menghabiskan waktu bersama orang tua dan keluarga. Bagi saya, di rumah saja tak bakal menyelesaikan persoalan, perut harus diisi. 

Dompet juga harus dipertebal menjelang lebaran, agar mampu menyisihkan uang saku untuk keponakan dan orang tua.

Kerja dari rumah tidak berlaku bagi saya, seorang karyawan rumah makan sederhana, sesederhana upahnya. Sejak sekolah dan kampus diliburkan, serta kantor-kantor mulai merumahkan karyawannya, warung tempat kami bekerja sepi pembeli. 

Jika sehari biasa melayani kurang lebih 100 pembeli, gara-gara corona tak lebih 10 orang yang datang. Penjualan via aplikasi online juga nyaris tak membantu. Sepinya minta ampun. 

Saya harus sering mengencangkan ikat pinggang karena karyawan sering diliburkan untuk menekan ongkos produksi. Saya pernah diliburkan selama seminggu. Makan sehari sekali terpaksa dilakukan rangka bertahan hidup. 

Gaji yang tak seberapa sudah habis sebelum kembali bekerja, sedang di kantong hanya tersisa beberapa lembar uang ribuan. Mendekam dan menahan lapar di indekos adalah pilihan yang sungguh menyedihkan. Saya merasakan nuansa puasa sebelum Ramadan tiba. 

Malu sebenarnya menuliskan kisah ini. Saya tak terbiasa mengeluh dan mengumbarnya. Seakan menjadi orang tak berguna dan patut dikasihani. Saya jarang mengeluh, termasuk kepada orang terdekat sekalipun, apalagi kepada orang tua. 

Saya pasrah pada Tuhan. Insyaallah saya kuat dan Tuhan pasti menunjukkan jalan terbaik.

Sempat terpikir untuk pulang kampung saja daripada terlunta-lunta di kota perantauan. Situasi persebaran corona membuat saya risau. Sudah hampir dua bulan saya tidak pulang kampung. Padahal kampung saya hanya berjarak  kurang lebih 70 kilometer, cukup ditempuh dengan perjalanan sepeda motor tak kurang 2,5 jam dari Solo. 

Rindu kepada keluarga terpaksa ditahan. Lalu,saya harus bagaimana? Mati membusuk di kota orang? 

Pada minggu-minggu terakhir ini warung kami mendapat pesanan catering. Alhamdulillah, saya bisa bekerja untuk menyambung hidup. Saya bertugas belanja ke pasar dan mengantar catering. Menjaga jarak dengan orang lain dan sering-sering mencuci tangan terus saya lakukan. Tak lupa memakai masker saat ke pasar atau mengantar pesanan. 

Pesanan catering nampaknya hanya berlaku sampai minggu depan. Selama puasa hingga waktu yang belum ditentukan warung tutup, otomatis saya tidak bekerja. Saya berpikir pulang saja ke kampung halaman.

Baru-baru ini saya membaca berita jika di Kecamatan tempat saya tinggal di kampung sudah ada warga yang positif terkena covid-19. Hal ini menimbulkan keresahan bagi warga, termasuk perantau seperti saya. 

Meski belum ada larangan pasti jika perantau dari Jawa Tengah dilarang mudik, akan tetapi pihak Kecamatan mewajibkan para perantau yang pulang agar mau dikarantina selama 14 hari. 

Bagi saya, sehari saja diam tanpa mengerjakan apa-apa, tanpa beraktifitas yang mengeluarkan keringat terasa menjemukan. Apalagi ini harus dikarantina selama 14 hari. 

Lama saya merenung, jika nanti saya pulang ke kampung halaman saya akan langsung menuju tempat karantina tanpa pulang terlebih dahulu ke rumah menemui orang tua. 

Bukan apa-apa, bukan saya takut keluarga terpapar virus dari saya, karena saya merasa sehat dan selama ini tidak mengalami gejala yang mengarah pembawa virus itu. 

Hal itu saya lakukan agar saya tidak membebani orang tua, omongan para tetangga yang barangkali menganggap saya pembawa virus, karena sekali lagi, saya merantau di kota yang berstatus zona merah covid 19.

Meski kita kelihatan sehat, tidak terdeteksi positif covid-19, kata orang-orang pemerintahan dan para pakar kesehatan kita bisa pembawa virus maut itu kepada keluarga dan tetangga. Ngeri saya membayangkannya. (Miv)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun